Thursday, July 27, 2006

Tempat Tidur

Awal bulan lalu, rumah tangga saya sudah berusia lebih dari dua belas tahun. Usia yang menurut ibunda saya sudah lulus masa kritis. Selama masa itulah, rumah tangga kami menerapkan yang namanya asas kebersamaan. Kebersamaan hampir disemua lini. Pergi bersama, makan bersama, belanja bersama, sampai tidurpun harus bersama. Pendek kata, terasa tidak nyaman kalau ada salah satu dari anggota keluarga yang tidak ikut. Kurang lengkap rasanya. Jadi anda bisa bayangkan, tidur dalam satu tempat tidur untuk kami berlima. Sudah pasti uyel-uyelan, gerah dan panas. Apalagi musim Summer seperti sekarang ini.


Tentunya banyak perubahan antara dua belas tahun yang lalu dengan kehidupan sekarang. Bukan hanya pengalaman kehidupan yang bertambah, melainkan juga postur tubuh. Pada awal kehidupan berumah tangga, saya dan istri adalah pasangan yang (kata orang) berpostur langsing. Dua belas tahun kemudian, postur itu berangsur menjadi melebar, bukan hanya di daerah perut saja, tetapi juga menyerang daerah wajah, pipi dan leher

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika orang tua mengunjungi kami setelah 5 tahun tidak bertemu, komentar ibu saya pada waktu itu, “Walah le… kok badanmu sekarang bentuknya kotak”. Mau menyerang balik nggak enak, lha wong ibu sendiri yang bilang. Saya merasa sangat pasti walaupun belum pernah melihatnya sendiri, bahwa postur ini akan terlihat sangat jelek kalau dalam posisi duduk, dimana perutnya menjadi berlipat-lipat. Berkali-kali saya berkaca, mulai dari arah samping, depan, belakang, nungging, akhirnya saya menyerah dan berkata dalam hati, “Dari sudut manapun saya melihat, sama saja bentuknya. Dosa apa yang sudah saya perbuat sehingga untuk melihat perut saja, saya memerlukan ketabahan hati”. Oalah nasib…nasib…..

Mari kita tinggalkan masalah perut. Meskipun ukuran perut dan ukuran tempat tidur ada kaitannya, tetapi tulisan ini bukan berurusan dengan perut, melainkan dengan tempat tidur. Kalau dua belas tahun yang lalu, tempat tidur dengan kasur ukuran Twin masih mampu menampung kami berdua. (Namanya juga pengantin baru, tidak ada kasurpun jadilah, asal tidurnya berdekatan). Maka sekarang, dua belas tahun kemudian dengan ukuran badan yang XXL, tempat tidur dengan kasur ukuran King pun terasa masih terlalu sempit.

Karena masalah tempat tidur inilah, saya dan istri sempat uring-uringan. Maklum saja, kalau sudah masuk urusan rumah tangga, urusan sekecil apapun bisa menjadi besar. Walaupun menurut ibu saya, kami sudah lulus EBTA masa krisis.

Beberapa bulan sebelumnya, istri saya pernah berkomentar, “Sudah waktunya anak-anak harus tidur sendiri di kamar masing-masing”. Saya meng-amin-i saja pendapat istri saya ini. Ternyata amin saya ini mempunyai dampak secara financial yang tidak sedikit. Artinya, saya harus siap untuk tiga tempat tidur lengkap dengan aksesorisnya: kasur, bantal, sprei dan lain-lain. Untuk implementasinya, akhirnya kamipun bermaksud untuk melihat-lihat tempat tidur di salah satu toko furniture di kota kami. Bukan untuk membeli, tetapi melihat-lihat saja. Selama di toko itu, kami ditemani seorang Sales yang jago sekali meyakinkan pelanggannya. Nah sialnya pelanggannya itu adalah kami. Salah satu statement yang masuk ke benak kami adalah “Kasur dibilang layak pakai jika usia kasur dipakai itu dibawah 10 tahun, itupun tergantung dari kualitas kasurnya” (itu kata Sales..lho). Tidak hanya selesai dengan statement itu, Sales itu masih berkicau lagi, “Tubuh anda, mulai dari kepala sampai kaki harus memperoleh sesuatu yang layak. Untuk apa anda bekerja siang malam, sedangkan untuk organ anda sendiri anda masih pelit.” Hmmm….

Entah setan apa yang masuk ke kuping saya waktu itu,... kok ya nurut saja saya sama si Sales ini. Saya yang biasanya complain dan challenge semua macam bentuk argumentasi, tapi tidak saya lakukan untuk sales yang satu ini. Kepada sales yang satu ini, saya hanya manggut-manggut saja dengan semua nalar dan logikanya. Mirip sekali seperti anak TK yang harus duduk manis supaya nanti dapat permen dari gurunya. Rencana yang hanya melihat-lihat berubah menjadi membeli. Edan…mati tenan kowe…..

Walhasil… kami akhirnya beli tiga set tempat tidur. “Urusan uang bisa dicari, urusan nyaman susah dicari,” begitu akhirnya logika yang saya pakai untuk menutupi ke-ngeri-an saya begitu melihat tagihan dari Credit Card.

Hari pertama furniture datang, semua anak saya berlompat-lompat kegirangan. Dalam hati saya, “Ok juga .. For once…make them happy”. Anak saya laki-laki yang paling besar sudah berencana untuk memasang koleksi mainannya dan buku-bukunya di rak sebelah atas headboard-nya. Anak saya perempuan sibuk dengan rencananya untuk mendekor tempat tidurnya berwarna putih dan pink lengkap dengan boneka koleksinya. Anak saya paling kecil, tidak mau ketinggalan, sementara kakak-kakaknya sibuk dengan rencananya masing-masing, dia cuek saja yang penting sekarang dia bisa lompat-lompat di atas tempat tidurnya sendiri tanpa ada yang melerainya.

Pada malam pertama hari itu, setelah hampir dua belas tahun tidur kami “diganggu” oleh anak-anak kami, akhirnya kami merasakan sepinya tempat tidur ukuran King ini. Mendadak ukurannya menjadi besar sekali. Ditengah malam saya terbangun dan merasa aneh. Sambil jalan perlahan-lahan, saya tinggalkan istri saya yang masih tertidur di tempat tidur kamar utama. Saya pindah ke kamar tidur anak-anak. Saya pilih anak saya paling kecil, karena dengan ukuran perut seperti ini, hanya tempat dialah yang paling cocok untuk sharing tempat tidur. Dan terlelaplah saya disana.

Walah….ternyata rasa rindu itu milik para orang tua. Bukan anak-anak itu yang tidak siap. Ternyata saya-lah yang berada pada pihak dimana merasa tidak tega dan belum ikhlas untuk ditinggal anak-anak pisah ranjang. Sekarang, jadi tambah dongkol dan nggondok saja saya dengan Sales sialan itu. Karena dia-lah akhirnya saya harus melepaskan kenikmatan bermain dengan anak-anak saya yang jelas-jelas tidak bisa diganti masanya. Kapan lagi saya bisa menikmati bersama-sama mereka? Praktis, hanya sampai usia 13 tahun mereka masih mau melakukan segala sesuatunya bersama-sama keluarga. Selebihnya mereka akan enjoy sendiri dengan teman-teman mereka sendiri. Nikmatilah “For once…” anda dengan anak-anak, sebelum anda bercerita ke orang lain bahwa “Once Upon a Time” saya……………..(Prahoro Nurtjahyo, 27 Juli 2006).

1 comment:

Anonymous said...

Mantaps... mantaps....