Wednesday, November 12, 2014

Salah Siapa?

Beberapa minggu terakhir media TV di kampung ini memberikan sorotan tentang perilaku kekerasan orang tua terhadap anak. Seorang ayah, pemain football ternama dari kampung tetangga, harus mondar-mandir ke Court (kantor pengadilan) karena dilaporkan oleh anaknya dengan dakwaan physically abused, dipukul oleh si ayah. Saya yang semula melihat inti permasalahan ini clear as crystal akhirnya menjadi blur (samar-samar) karena kepentingan lawyer yang sudah masuk dan memakai pasal-pasal tertentu untuk keluar dari permasalahan yang sebenarnya. Emboh ora eruh!

Terus terang di negara yang mengaku nenek moyangnya demokrasi (seperti kampung awak ini), saya terkadang justeru bingung sendiri ketika kuasa Orang Tua dilucuti oleh seorang Anak. Tidak ada lagi namanya command center di dalam rumah. Bagaimana tidak? Wong dengan congkak-nya seorang anak dapat mengancam orang tuanya begini, "If you touch me, I will call 911".  Dan ini bukan gertakan sambal belaka. Seriously, si anak sudah memegang telpon dan siap menekan tombol angka 9-1-1.  Ampun dah!

Kalau sudah begitu, siapa sebenarnya yang memegang authority tertinggi di rumah ini? Edan opo nggak? Inikah produk western? Dan aneh-nya, system seperti ini sudah mendarah daging di seluruh lapisan society baik dari yang formal seperti sekolah dan perkantoran sampai dengan yang di cafe-cafe atau di neighborhood. Inilah cara-cara sistematis yang sudah diajarkan oleh sekolah kepada anak-anak kita. Jadi, pada dasarnya, secara tidak sengaja kita ini sudah memberikan andil untuk menumbuh-suburkan system ini juga. Yo wis!

Apa yang salah dengan system ini?

Selalu ada saja jawaban normatif, "Systemnya sih sudah baik, hanya saja pelaksanaannya yang masih perlu diperbaiki". Lha mbelgedes kalau itu jawabannya. It is so cheap!

Saya berani mengatakan bahwa sistem ini sudah salah kaprah, baik dari segi konsep dan pelaksanaan. Sistem ini bahkan sudah di-abused oleh kondisi yang ada. Paling tidak, ada tiga (3) alasan mengapa saya katakan system ini sudah melenceng dari pakem yang seharusnya.

Alasan Pertama. Konsep memukul tidak selalu identik dengan abuse. Bahkan, agama-pun memperbolehkan memukul dengan catatan. Iya to? boleh memukul asal tidak bagian muka, boleh memukul asal dengan sesuatu yang lembut dan tidak keras. Pointnya apa? Orang tua wajib marah ketika melihat anak-anak-nya sudah mempermainkan sebuah value atau nilai-nilai kepatutan. Dan "kemarahan" itu harus diketahui oleh anak-anak kita, sehingga mereka tidak mengulanginya lagi untuk kesalahan yang sama atau sejenis. 

Lha wong di-omel-in setiap hari saja, anak-anak ini masih banyak lupa-nya, apalagi kalau dibiarkan. Iya to? Dan disitulah sebenarnya yang dituntut JUGA belajar adalah si orang tua nya sendiri untuk bertindak konsisten at anytime and at any cost. Sehingga si anak akan respect karena melihat orang tua-nya sendiri sebagai panutan yang tidak ambiguity atau double standard dalam menerapkan aturan. 

TETAPI, ketika ada orang tua yang kalap kemudian menjadikan anak-nya menjadi punching bag latihan tinju, saya sangat-sangat tidak setuju. Yang seperti itu sudah kelewatan dan unacceptable.

Alasan Kedua. Mendidik anak adalah ranah prerogative dari orang tua. Karenanya, ini merupakan hak yang sangat istimewa dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban olehNYA (ingat bahwa semuanya adalah titipan, termasuk anak adalah salah satu titipan dariNYA ke orang tua). Sehingga untuk menjaga titipan ini, orang tua harus mempunyai Full Authority. Authority inilah yang harus dapat di-implementasi-kan secara jelas dan tegas dalam bentuk aturan keluarga. Aturan diperlukan untuk menjaga fungsi dari masing-masing anggotanya agar tetap mengikuti nilai-nilai kepatutan tadi. Tugas dan kewajiban anak jelas, termasuk batas-batasnya. Demikian halnya untuk orang tua.

Karenanya, setiap keluarga wajib mempunyai seorang nakhoda yang mempunyai Full Authority. Memang ada case-by-case dimana seorang Nakhoda tidak mampu dan berfungsi seperti yang diharapkan. Tetapi, tidak berarti kalau sudah demikian, si anak yang take over memegang kendali authority rumah. Iya khan? Di-situ-lah fungsi agama berperan dengan ajarannya yang meletakan Orang Tua sebagai orang (i) yang dituakan dan (ii) yang wajib untuk dihormati oleh anak-anaknya. 

Jangan sampai orang tua dijadikan kambing congek karena takut dengan ancaman "nanti tak telpon 911 kalau ayah dan mama marah". Authority macam apa kalau seorang anak buah kapal sudah men-dikte seorang Nakhoda untuk menentukan ke mana kapal akan berlayar?

Alasan Ketiga. Ancaman hanya akan melahirkan kasih sayang semu. Sebuah respect yang mengada-ada. Tetapi kasih-sayang yang tulus dari orang tua akan selalu dibawa sampai mati. Bagi sampeyan-sampeyan yang dilahirkan di era sebelum 1990an, yang namanya rotan, penggaris, ikat pinggang adalah makanan sehari-hari yang kita saksikan ketika kita berbuat kesalahan. Baik itu dilakukan oleh orang tua kita sendiri, atau oleh guru di sekolah atau bahkan oleh pak kyai tempat kita belajar mengaji di surau. Tidak ada yang complain atau melaporkan ke kantor polisi atau RT setempat. 

Setelah 30 tahun berselang, atau ketika kita saat ini sudah memasuki dunia kehidupan keluarga sendiri, coba kita bertanya pada diri kita sendiri, "Adakah rasa dendam kita ke Ayah yang sudah memukuli dengan ikat pinggang ke tubuh karena kita keasyikan bermain bola sehingga lupa tidak segera pulang padahal sudah masuk waktu Maghrib?" Ayah berhak marah karena ada nilai-nilai yang ingin dipertahankan sehingga ketika waktu Maghrib datang, semua anggota keluarga-nya sudah berpakaian bersih dan rapi bersiap untuk segera sholat. Iya to? Akankah kita minta revenge ke Ayah kita untuk minta ganti rugi disabet ikat pinggang? Kalau sampai iya, sampeyan memang edan beneran :-)

Saya bukannya pro-kekerasan. Sama sekali bukan. Saya bahkan percaya 100% bahwa berkelahi secara fisik bukan merupakan penyelesaian masalah yang eleganBetul nggak? Selain sakit dan remuk semua badan ini, bibir juga bisa jadi jontor karena kena bogem. Lebih sial lagi, cara-cara ini justeru menunjukkan level kebodohan kita. Jangan seperti wakil rakyat di gedung Dewan terhormat sana. Malu lah kalau sampai adu jotos secara fisik, apalagi lempar-lemparan kursi. Ahh nggak mutu tontonan seperti itu. Iya to?

---------

Maka, saya matikan TV tentang berita Child Abuse itu karena saya sudah muak dengan subtansinya yang sudah bergeser. Konteks keadilan dalam dunia hukum manusia adalah fungsi bagaimana bermain dengan kata-kata ketika berada dalam persidangan. Karenanya kalau sampeyan mempunyai bakat ngotot, maka profesi Lawyer ini mungkin cocok buat sampeyan (Even though I do not recommend it). Saya tidak tertarik lagi untuk mengikuti perkembangan kasus ini dari ranah hukum textbook manusia, karena selain capek, juga bikin stress dan menaikan tekanan darah. He..he..he... :-)

Saya tidak tahu seberapa valid keabsahan isi berita semacam ini. Yang pasti, hal-hal semacam ini hampir tidak pernah saya temukan ketika saya masih kecil. Kriteria nakal, bangormbeling atau ndableg bagi anak-anak adalah sangat relative. Namun demikian bukan berarti tidak dapat di-ukur. Marah kepada anak adalah hal yang lumrah dan wajib apalagi kalau tingkah polah mereka sudah diluar dari batas kewajaran atau kepatutan. At least, sampeyan khan tahu, irama yang wajar itu seperti apa. Kalau anak sampeyan sudah tingkahnya aneh-aneh, maka bersiaplah untuk me-negak-kan Command Center di rumah sampeyan. Sebelum mereka menelpon 9-1-1. he...he....he... Wallohuallam. (Prahoro Nurtjahyo, November 2014)

1 comment:

Tri Soeprihati said...

Banyak orang tua dlm mendidik anak ,msl:anak bandel dg mengandalkan kekuatan' nya sendiri tanpa ingat lagi siapa "sutradara" di balik crita si anak yg bandel. Sehingga emositak terbendung,kata2 kasar pun keluar dari si orgtua dan ikat pinggangpun bisa mendarat di tubuh si anak... orgtuapun stres jadinya.. sebetulnya apkah kuasa org tua thd berubahnya anak2 kita menjadi anak yg sholeh / sholehah... ? Sy kira tdk ada... orgtua hanyalah berkewajiban membri panutan...nasihat,arahan dan DOA ... hanya GustiAllah yang ber Kuasa utk merubahnya... so.... kita hrs bisa lebih sabarrrrrrr