Terkadang
nikmat itu datangnya bertubi-tubi dan kebablasan. Adalah tugas kita untuk
membendungnya. Kalau tidak, maka besar kemungkinan kita akan overwhelm dengan kenikmatan itu dan
akhirnya lupa. Kita lupa kalau ternyata yang namanya “nikmat”-pun sebenarnya
adalah bagian ujian dari-Nya. Iya to?
Tidak
terasa, sudah seminggu ini saya lewati kenikmatan dua malam di hutan itu. Kalau dalam tulisan ini sampeyan tidak merasakan adanya “penyesalan”,
karena memang itulah yang sedang saya rasakan. Apapun kesan sampeyan tentang acara dua malam itu,
bukanlah sesuatu yang penting bagi saya. Kenapa?
Karena kalau saya melihat sampeyan bisa tersenyum, that is enough. Itu sudah cukup membuat saya untuk ikut tersenyum juga.
Dan saya
yakinkan kepada sampeyan, ketika saya
menulis di celometan ini, saya tersenyum
untuk sampeyan semua karena
kenikmatan yang sedang saya rasakan.
Paling
tidak, saya menemukan tiga kenikmatan selama dua malam itu. Kenikmatan yang pertama adalah sharing. Ketika kami sampai di lokasi campsite, as predicted, malam datang bersamaan dengan kedatangan
kami. Meskipun jauh dari
awal saya sudah coba untuk meng-antisipasi-nya, toh “keributan sharing”
itu tetap terjadi. Malam itu, saya benar-benar merasakan nikmat “Kalah Tanpo Wirang” (Baca: Kalah tanpa harus malu). Sudah lama saya tidak paham dengan falsafah Jawa yang satu ini, tetapi
malam itu, saya benar-benar tahu apa makna dari filsafat itu.
Bersyukur
saya ditemani oleh sampeyan-sampeyan
yang besar hati untuk sharing. Baik
itu sharing makanan, minum, tempat
tenda, dan lain-lain. Karena tanpa sharing,
apalah indahnya hidup ini. Iya khan? Memangnya sampeyan
mau hidup sendirian tanpa tetangga? Nikmat adalah sebuah rasa, jadi tidak akan tampak
di permukaan. Karenanya tidak ada hubungannya antara kenikmatan dan senyuman. Silahkan sampeyan tersenyum sampai bibirnya
sobek, tetapi kalau hati sampeyan menangis, mau ngapain? Iya apa Iya? :-)
Kenikmatan yang kedua adalah menahan mata untuk berpuasa. Memang gila. Keberadaan tetangga tenda sebelah kiri saya yang super agresive
dan sangat provokative secara terang-terangan menantang iman dari mata dan telinga. Sampai-sampai akhirnya kita harus membuat tenda
tambahan untuk menutup view-nya agar “tenda setan” itu tidak terlihat oleh yang
lain. Sialan memang, tetapi Alhamdulillah
juga :-) Alhamdulillah
karena campsite menjadi aman. Lho kok bisa? Karena selama
tidur, hanya mata yang pura-pura
tertidur, sementara telinga ini harus bekerja super keras untuk menangkap suara
apa saja yang akan muncul dari tenda sebelah. Ampun dah! Makanya sampeyan jangan heran kalau pas waktu
Subuh, saya yang datang paling awal dan berada pada shaf paling depan. Lha wong semalaman kuping saya ini nggak bisa tidur. Apes tenan je.
Malam
itu, saya bisikan ke istri saya, “Sepertinya
sepulang camping kita harus bayar dengan puasa 40 hari 40 malam”. Dengan tenang doi bilang, “Enak saja, sampeyan
yang nglihat, aku cuman ngilirik saja tadi …”. Wuih…. Enak saja, aturan dari
mana yang bilang kalau Ngelihat sama Ngelirik beda hukumannya? :-). Jadi kalau saya tidak
ikutan Tour teman-teman yang pergi ke pantai timur atau barat, saya sedang
mempersiapkan acara “retreat” untuk diri sendiri dengan puasa "ngebleng plus mutih" biar kembali sakti lagi. Duh Gusti nyuwun pangapunten. :-)
Kenikmatan yang ketiga adalah kebal raga. Adanya Tattoo yang
berupa Red Dot di badan selepas acara
camping tanpa saya tahu penyebabnya adalah bukti bahwa dua malam itu sudah menambah kekebalan imune di dalam tubuh ini. Saya tidak tahu pasti apakah ini
karena akibat gigitan nyamuk, karena dua hari tidak mandi, atau karena yang lainnya. :-)
Apapun itu
penyebabnya, saya melihat inilah kenikmatan yang hakiki. Kenapa? Karena baru kali ini, ada warna merah muncul tetapi tidak diawali oleh rasa sakit
sebagai penyebabnya. Kalaulah itu datang dari nyamuk, sudah barang tentu akan ada pertarungan dengan tangan sehingga terdengar suara “plak-plok” untuk menghajar itu
nyamuk. Dan anehnya selama acara camping, tidak ada bunyi tepuk tangan “plak-plok”
untuk membinasakan pasukan nyamuk itu. Begitu sayangnya, sehingga untuk rasa sakitpun,
Alloh tidak tega hambanya ini merasakannya. Tahu-tahu…sudah ada tanda merah
sekujur tubuh. Nah coba… nikmat apa lagi yang ingin kita dustakan? He…he…he…
Kenikmatan dua malam itu adalah apa yang saya rasakan bersama sampeyan semua. Dan juga, kalau sampeyan sempat juga merasakan
kejengkelan, maka telanlah saja rasa jengkel itu (kalau memang ada). Kenikmatan dan Kejengkelan adalah bahasa rasa
dimana satu dengan yang lain akan flip
seperti mudahnya kita membalik tangan ketika kita tahu kapan waktu yang tepat untuk melakukannya. Jadi
tersenyumlah apapun nikmat yang sampeyan rasakan. Mumpung masih bisa. Kalau sampeyan masih
penasaran apa isi sebenarnya dari camping dua malam kemarin, datanglah ke rumah saya, nanti saya ceritakan semuanya J. Wallohualam. (Prahoro
Nurtjahyo, Sabtu 30 Mei 2014)
No comments:
Post a Comment