Wednesday, December 11, 2013

Takkan Selamanya

Bisa jadi pengalaman hidup saya ini, pernah sampeyan alami. Bisa jadi, apa yang saya alami ini, akan sampeyan alami juga. Karenanya, saya tulis ini di Blog Celometan untuk berbagi pengalaman, mumpung Alloh masih memberi kita kesempatan. Kalau nafas sudah tidak ada lagi, maka itulah harga sebuah penyesalan.

Saya temui lelaki tua ini dua minggu yang lalu.  Tinggal sendiri di rumah gedhong di ujung gang kampung. Dulu sering kami bercanda dan saling berolok bahwa rumah itu lebih cocok dan mirip dengan kantor kecamatan dari segi ukurannya, ketimbang rumah untuk bertempat tinggal. Dan memang benar, kalau sampeyan sempat mampir ke gubuk lelaki tua ini, akan sangat kaget, bahwa rumah seluas itu ternyata hanya dihuni oleh dua orang saja. Lelaki tua ini adalah Bapak saya.



"Takkan selamanya tanganku mendekapmuTakkan selamanya raga ini menjagamu

Seperti alunan detak jantungkuTak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudarAtau cinta yang telah hilang"





Semenjak Ibu wafat di awal tahun ini, Bapak lah satu-satunya pengisi rumah segede Bagong itu. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kehidupan suami istri yang telah hidup bersama lebih dari 40 tahun akan sangat terasa adanya ritme yang hilang (berubah) jika salah satu dari pasangan tersebut sudah dipanggil menghadap-Nya.

Demikian halnya dengan Bapak. Berpulangnya Ibu, memang serta merta tidak langsung terlihat dampaknya. Namun secara pasti mempengaruhi kesehatan Beliau yang sebelumnya prima terus menerus turun kondisinya. Berkurangnya indera penglihatan dan pendengaran secara drastis dalam kurun waktu 2 bulan adalah bukti significant yang tidak mudah untuk di recovery apalagi dengan kondisi seseorang yang sudah sepuh seperti beliau ini.

I am truly blessed to have him in his visit in the last two weeks at our home in Houston.

Setiap malam, ketika beliau tertidur,  perlahan-lahan saya datangi kamar beliau yang memang tidak pernah dikunci. Saya pandangi wajah beliau dalam lelapnya. Kulit yang sudah keriput, lemah ototnya, bongkoknya tulang belakang, kurusnya badan, batuk yang tersenggal-senggal, dan masih banyak kelemahan fisik yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Ingin rasanya segera saya memeluknya kalau saja tidak takut membuatnya terbangun. Lama saya pandangi wajah lemah dan tua ini.

Sering karena saya sudah tidak tahan, saya kecup keningnya yang keriput dan berakhir dengan bangunnya beliau. Saya segera dekap tubuh kurusnya, dan saya katakan, "Isih bengi kok Pak (Masih malam kok Pak)" Sambil berkaca-kaca saya tinggalkan kamar itu dan kembali beliau di dunianya yang semakin lama semakin sepi.

Waktu terus cepat berlalu. Tidak lagi saya temui kekarnya badan tempat dulu saya sering berayunan di pangkal lengan tangannya. Tidak saya temui lagi selidik mata tajamnya ketika dulu beliau mendapati kesalahan yang saya perbuat meskipun itu hanya untuk ukuran yang sepele. Kearifan dan kesabaran beliau selama ini cukup memberikan pelajaran yang penting bagi saya.

Semenjak Ibu wafat, kepada siapa lagi saya harus "bermanja" dan "memanjanya"? Untuk siapa lagi semua nikmat dunia yang terkumpul ini? Mumpung masih dipertemukan dalam kondisi yang relatively sehat. Mumpung waktu dan kesempatan itu masih ada. Mumpung tangan ini masih mampu mendekapnya. Mumpung raga ini masih mampu untuk selalu menjaganya. Mumpung nafas masih mengalir dengan semestinya. Apalagi yang kita harus tunggu selain dengan membuatnya tersenyum di bab akhir perjalanan hidupnya.

Kalaulah ini semua adalah tanda yang sudah diberikan oleh-Nya, maka:

"Ya Alloh... berikan kekuatan kepada hambamu untuk dapat memberikan yang terbaik buat Beliau.

 Ya Alloh... selalu ingatkanlah kepada kami untuk senantiasa sabar, menjaga suara kami untuk tetap lembut dan selalu enak di telinga Beliau.


 Ya Alloh... berikan kekuatan kepada orang tua kami untuk tetap menjaga Asma-mu dan Engkau masukan dalam golongan yang Kau Ridloi dan Khusnul Khotimah. 


 Allohummaghfirli waliwalidayya warhamhumma kama robbayani soghiro" 

(Prahoro Nurtjahyo, 11 Desember 2013)







2 comments:

Unknown said...

...usia beliau kurang lebih sama dengan bapak saya, senang rasanya bisa bertemu beliau setelah sholat Jum'at waktu itu, dan ngobrol pakai bahasa jowo kromo inggil di Houston...he..he..he..he..salam buat beliau pak Prahoro...


Margi
cah Bujel - Kediri

Prahoro Nurtjahyo said...

Terima kasih mas Margi... Insha Alloh ketemu lagi.