Kalaulah faktor geografis sangat menentukan brightness dari patriotisme seseorang, maka sudah dapat dipastikan saudara-saudara kita yang tinggal di lereng gunung Semeru, atau di tengah lebatnya hutan tropis Kalimantan, atau bahkan di puncak Gunung Jaya Wijaya Irian Jaya Barat akan mempunyai warna “merah-putih” yang jauh lebih cerah dibandingkan dengan orang-orang Indonesia yang sekarang ini tinggal di Houston. Iya khan?
Kalau level nasionalisme seseorang hanya diukur berdasarkan faktor jarak melintang dari tanah kelahiran, maka sudah pasti mereka yang tinggal di Houston warna merahnya barangkali akan luntur menjadi merah muda dan warna putihnya pun akan memudar seperti putih kecoklatan layaknya kain yang tidak pernah dicuci. Iya to?
Apapun response anda terhadap statement di atas, itulah konsekuensi logis yang akan dihadapi bagi siapa saja yang secara geografis tidak berada dalam perimeter ruang 2-D dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Talaut. Tidak peduli apakah kegiatan anda berkaitan dengan diri sendiri atau diniatkan untuk saudara sebangsa di bumi Nusantara, yang jelas dari kacamata “tanah air”, anda adalah second class warga negara. Ada sesuatu yang selalu dipertanyakan tentang “rasa kepemilikan anda terhadap bangsa ini” karena keberadaan anda yang tidak di dalam perimeter kotak tadi. Apalagi kalau anda ternyata sudah cukup lama meninggalkan dimensi ruang itu. Kecurigaan akan muncul secara alami sebagai naluri manusia untuk mempertahankan sebuah territorial. Sebuah kewajaran yang sah-sah saja tentunya.
Apa dampaknya? Tentu mudah ditebak. Kalau anda memberikan komentar yang (kebetulan) berlawanan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sudah barang tentu anda akan kena stempel atau cap jempol, “Sok kebarat-baratan”, “Kelompok mbalelo yang tidak bisa diajak kerja sama”, atau “kacang yang sudah lupa dengan kulitnya”. Statement seperti itu sudah akrab di telinga kita. Demikian pula sebaliknya, kalau anda diam saja berpangku tangan terhadap gejolak yang sedang terjadi di tanah air, andapun akan kena tuding, “Sudah enak di negeri orang, tidak mau memikirkan lagi nasib bangsanya”. Jadi apapun sikap yang diambil, buahnya selalu menimpuk kembali ke muka mereka yang berada di luar perimeter tadi. In conclusion, inilah resiko bagi mereka yang tinggal di luar jangkauan 200 mil Zona Ekonomi Ekslusif dari garis pantai Nusantara.
Masyarakat Indonesia di Houston
Ada beragam alasan dan peristiwa sehingga menyeret seseorang lengkap dengan atribut merah-putih nya ke kampung Houston ini. You name it. Ada yang terdampar di Houston karena alasan sekolah, pindah pekerjaan, tugas kantor dari Indonesia, atau karena perkawinan. Bahkan ada yang lari karena tidak percaya lagi merah-putih adalah warna benderanya yang harus dikibarkan. That’s the fact. Dari sederetan alasan yang bertumpuk tadi, tidak ada seorang pun yang akan merasa lebih elegan tentang keberadaan mereka di Houston ini. Dari semua aneka ragam yang terjadi, bagi kita yang ber-iman dan percaya, bahwa ini adalah part dari garis kehidupan manusia dimana masing-masing dari kita hanya sebagai pelaku saja. Iya apa iya? Adalah sang Khalik Yang Maha Berkehendak yang telah menuliskan alur kehidupan masing-masing makhluknya (bahkan sebelum manusia itu dilahirkan).
Jadi sangat tidak masuk akal kalau justifikasi nasionalisme/patriotisme justeru datang dari manusia sendiri yang seolah-olah mengatakan “karena anda berada diluar Sabang-Merauke maka suara sampeyan terhadap keberlangusngan negeri ini adalah optional.” Lho atas dasar apa mereka yang berada di dalam “kotak” Nusantara boleh meng-claim “Sayalah pewaris tanah air ini”. Edan tenan kalau begitu yang dipakai landasan berpikirnya.
Alhamdulillah, selama tinggal di kampung Houston, saya berkesempatan berinteraksi dengan saudara-saudara se tanah-air yang kebetulan beraneka ragam background-nya. Mulai dari mereka yang kena deportasi karena alasan visa ijin tinggal, kemudian yang survive untuk bertahan di US meski harus dengan empot-empotan, sampai dengan yang masih mempertahankan merah-putih meski sudah menjabat Vice President di salah satu major perusahaan minyak. Ada yang saya kenal mulai dari bayi (kebetulan kami ikut mengasuhnya), sampai sekarang si bayi tadi sudah masuk kelas SMP. Bahkan dari yang runtang-runtung aktif bersama dalam kegiatan kemasyarakatan di Houston, sampai akhirnya saya ikut melepaskan kepergian beliau menghadap-Nya karena sakit yang lama dideritanya. Innalillahi wa Innailaihi Roojiuun.
Bottom line, dari sekian banyak sebaran yang ada, saya mengamati masyarakat Indonesia di Houston mempunyai dua ke-unik-an yang sudah selayaknya patut disyukuri. Pertama, sebagian besar dari mereka mempunyai tingkat pemahaman berpikir di atas rata-rata manusia Indonesia secara umum karena ditunjang oleh sarana dan level pendidikan yang lebih baik. Ke-unik-an yang kedua, adalah tingkat perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang berada di tanah air secara general. Dimana perbedaan ekonomi ini yang kadang-kadang justeru malah menjadi pemicu perbedaan pendapat dengan saudara kita di tanah air, sehingga tidak lagi fair dalam mengambil sikap.
Kalau dua kekuatan yang unik di atas, level pendidikan dan ekonomi, berada dalam genggaman seseorang pada kosmos ruang dan waktu yang sama, maka secara logika orang itu akan dapat melakukan apa saja menurut kehendaknya (dalam konotasi kegiatan yang baik tentu-nya). Kalau orang Indonesia yang mempunyai dua kekuatan itu lebih dari satu jumlahnya, atau lebih dari 10 jumlahnya bahkan lebih dari seratus jumlahnya, dan berkumpul bersama maka side-effect nya pun bukan hanya sekedar kelas kacangan, tetapi mampu memberikan warna merah menjadi lebih merah dan putih menjadi lebih putih. Mungkinkah ini terjadi di Houston? By all means. Why not? Houston dimanja dengan dua kekuatan itu. Akan-kah kita sia-siakan?
Kilas Balik Kegiatan Masyarakat Indonesia di Houston (2003-2008)
Terlalu banyak kegiatan masyarakat Indonesia di Houston yang dapat dituliskan. Bahkan, kalaupun sempat tertulis, selain berjilid-jilid panjang tulisannya juga sudah pasti akan banyak kegiatan yang terlepas dari tangkapan panca indera kita karena keterbatasan memory dan recording system. Untuk itu, hanya recent activites dalam kurun 2003 sampai dengan 2008 saja yang coba dirangkum.
Dimulai dengan memutar kembali rekaman kegiatan masyarakat Indonesia pada bulan September 2003. Pada bulan itu berkumpul para professional Indonesia di Houston dengan berdikusi tentang masa depan dunia perminyakan Indonesia. Sempat hadir adalah mantan Menko Ekuin yang kebetulan beliau sedang berada di Houston. Tidak ada protokoler resmi, semuanya muncul dari inisiatif masyarakat Indonesia. Kita rumuskan sendiri formatnya dan hasil dari diskusi ala “warung kopi” itu kita rangkum dalam sebuah tulisan dan kita sampaikan ke pemerintah pusat melalui pejabat teras BPMIGAS yang kebetulan sedang tugas dinas ke Houston. Message-nya, ada sesuatu yang pernah dilakukan oleh masyarakat Indonesia di Houston untuk turut memikirkan kondisi perminyakan di tanah air.
Bencana Tsunami yang menimpa tanah Aceh pada bulan Desember 2004 langsung memperoleh response dari masyarakat Indonesia di Houston dengan penggalangan dana melalui kegiatan Bazaar yang diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 2005. Terkumpul dana pada waktu itu adalah USD 12,880, dengan perincian check sebesar USD 3,515 dan tunai sebesar USD 9,365. Dana yang terkumpul disalurkan ke Indonesia melalui Palang Merah Indonesia dan Kompas.
Pada event ini juga dilakukan pengiriman container berisi peralatan kesehatan dari Houston ke Banda Aceh oleh perkumpulan masyarakat Indonesia yang bergerak di bidang Oil and Gas. Dana terkumpul dari sponsor UNOCAL dan Garage Sale yang seharusnya dapat digunakan untuk mengirim dua container akhirnya hanya cukup untuk mengirim satu container karena ternyata ongkos administrasi pengeluaran muatan dari Medan ke Banda Aceh jauh lebih mahal daripada transportasi dari Houston ke Medan. Medical equipment yang bersifat sumbangan inipun masih juga dikenai biaya cukai. Hmmm di luar nalar kita.
Bukan saja hanya kepada saudara kita di tanah air. Masyarakat Indonesia di Houston pun turut berpartisipasi terjun langsung menolong korban bencana Hurricane Katrina Agustus 2005. Mengimplementasikan return program to community dari warga “merah putih” di Houston, beberapa masyarakat Indonesia menjadi volunteer untuk korban Hurricane dari Lousiana yang ditampung di Reliant Energy Stadium. Tentunya masih banyak rekaman kecil yang tidak sempat tertulis berkaitan dengan peran warga Indonesia dalam membantu proses recovery Hurricane Katrina ini.
Lagi, Komunitas Masyarakat Indonesia (KOMINDO) di Houston mengadakan fundraising melalui program ACI (Aku Cinta Indonesia) pada tanggal 24 Mei 2008. Pada kegiatan ini terkumpul dana melalui auction dan raffle ticket sebesar kurang lebih USD 13,000. Dana tersebut mendapat matching program dari Shell Oil Company sehingga total yang diperoleh adalah sekitar USD 26,000. Penggalangan dana ini dilakukan untuk pengiriman dua container berisi perlengkapan kesehatan ke dua rumah sakit di Bandung, Indonesia. Total biaya shipping dan administrasi untuk dua container dari Houston ke Jakarta berkisar USD 24,000. Dana yang tersisa direncanakan akan digunakan untuk biaya pengiriman dari Tanjung Priok ke Bandung.
Identik seperti kegiatan sebelumnya, bottleneck dari urusan charity seperti ini adalah di pos terakhir, di dalam “kotak” kampung sendiri, Indonesia. Kedua container tersebut tidak dapat dikeluarkan sesuai dengan batas tanggal yang sudah ditentukan dan akhirnya terkena denda untuk masing-masing container sekitar Rp. 100 juta atau USD 10,000. Luar biasa. Kegiatan yang panitia-nya sudah bubar ini harus menanggung hutang total USD 20,000. Modar tenan... uangnya siapa untuk nombokin? Memang sudah edan kampung kita ini. Logika mana yang dipakai, lha wong orang berniat untuk menyumbang, kok malahan di bebani hutang membayar lagi.
Dengan tekad untuk mewujudkan program yang sudah kepalang basah, akhirnya panitia yang officially sudah bubar, berkumpul kembali dan urunan untuk memikul dana dari kocek pribadi sehingga terkumpul USD 3,500. Alhamdulillah, dengan segala networking yang ada akhirnya diperoleh uluran dana dari Indofood sebesar USD 7,000. Dengan total dana terkumpul sekitar USD 10,000 (sisa kas USD 2,000 plus saweran panitia USD 3,500 plus dana dari Indofood USD 7,000) akhirnya dapat dimanfaatkan untuk mengeluarkan satu container ke rumah sakit Muhamadiyah. Sementara satu jatah lagi untuk rumah sakit Santo Yusuf belum dapat dikeluarkan sampai tulisan ini di-release. Besar kemungkinan, container berisi peralatan kesehatan senilai kurang lebih USD 250K yang masih berada dalam gudang Bea Cukai Tanjung Priok itu akan dilelang dalam waktu dekat ini karena tidak ada dana yang digunakan untuk mengeluarkannya.
Dan tentunya masih seabreg kegiatan yang tidak dapat dituliskan disini. Bermacam-macam cerita yang akhirnya dapat bermuara pada kesepakatan bawah sadar di antara mereka yang pernah terlibat dalam kegiatan, yaitu: “Iya... kita mampu untuk melakukannya dari Houston.”
Lesson and Learn
Harus diakui bahwa selama ini kegiatan masyarakat Indonesia di Houston bersifat insidentil dan parsial. It is obvious. Tidak ada yang kompeten untuk menghakimi benar atau salah dari sebuah proses yang terjadi sekian lama di kampung perantauan ini. Yang kita percaya bahwa semua ini adalah sebuah bagian dari proses yang ber-evolusi kepada sebuah titik konvergensi. Konvergen dalam pengertian bersatunya roh untuk ber-synergy dari masing-masing komponen yang ada.
Fakta telah menunjukan bahwa masyarakat Indonesia di Houston bukan masyarakat yang apatis atau masa bodoh dengan lingkungan sekitar (baik di tanah air maupun di sekitar tempat tinggal). Kita sudah buktikan dengan beberapa events yang hasilnya juga tidak mengecewakan (bahkan untuk beberapa event sangat membanggakan). Bahkan, meskipun sudah beberapa kali mentok “terjegal“ karena berurusan dengan birokasi tanah air, toh masyarakat Indonesia di Houston tidak pernak kapok, mogok atau mutung. Pantang mundur, maju terus.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Hanya akan seperti inikah kegiatan masyarakat Indonesia di Houston dari waktu ke waktu? Betapa dahsyatnya kekuatan ini jika dapat digabungkan dan menjadi sesuatu yang terkoordinasi. Masyarakat Indonesia yang madani mungkinkah akan lahir dari Houston? Terlalu jauhkah mimpi bahwa masyarakat Indonesia di Houston sebagai minitaur masyarakat Indonesia yang kita dambakan.“ Futuristik? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Bagaimana kita memperoleh jawaban-nya kalau belum pernah mencobanya? Isn’t it? Dengan kesempatan, fasilitas dan kekuatan yang ada (pendidikan dan ekonomi), yang tinggal di pupuk adalah niat yang tulus dan hati yang lapang. Selanjutnya yang dapat kita lakukan adalan berdoa, tawakal dan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa untuk memperoleh Ridlo-Nya.
Bukankah sudah dijanjikan bahwa rejeki ini akan terus ditambah oleh-NYA jika kita manusia mampu bersyukur terhadap rejeki yang sudah di-gelontor-kan nikmatnya tanpa batasan ini? Bentuk syukur apa yang sudah kita kembalikan atas amanah yang telah dititipkan oleh-NYA berupa ilmu (melalui pendidikan tinggi) dan harta (ekonomi yang mapan) kepada kita di Houston ini? Kalau semua komponen itu sudah berkumpul, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk menjadikan Redder than Red and Whiter than White. Wallohullam (Prahoro Nurtjahyo, Nov 5, 2009)
No comments:
Post a Comment