Sunday, May 07, 2017

Kedamaian Dalam Kesemrawutan

Seringkali dalam hidup ini, kenangan apik yang tersimpan dalam memori justeru terbentuk dari kejadian-kejadian yang menjengkelkan karena ketidaknyamanan, ketidaksingkronan, ketidaklogisan atau apapun namanya yang berseberangan dengan logika. Anehnya, ketika kita mengingat kejadian-kejadian tadi, malah menjadikan bibir kita merekah tersenyum karena buah kekonyolan-kekonyolan yang terjadi.

Tiga hari saya berada di India, negara yang dari sisi culture sangat dekat dengan negara kita. Kalau selama ini informasi tentang India saya dapatkan dari pilem-pilem bollywood, dengan jogetan-nya, maka kali ini saya mengalami dan melihat India dengan semua 6 panca indera yang saya punya. 


Tentu saja, pengalaman tiga hari bukanlah waktu yang cukup untuk memberikan gambaran kehidupan negara ini yang seutuhnya. Juga, pengalaman tiga hari bukan justifikasi yang valid untuk menilai apakah sebuah negara itu baik atau tidak. Ini hanya sekedar catatan kecil yang ingin saya share dengan sampeyan semua. Tidak ada niatan yang lebih dari itu.



Sabar. Ini adalah pelajaran utama yang saya dapatkan ketika mendarat pertama di New Delhi. Jelas nampak bahwa bunyi klakson BUKAN bentuk kemarahan antar pengemudi. Suara klakson adalah variable kehidupan dan bahkan merupakan bumbu dalam berkendaraan di jalan raya di India. Tidak ada mata melotot antar sopir karena suara klakson, meskipun jalannya dipotong perpendicularly. Edan khan?  Bahkan, dengan ikhlas mereka memberikan tanda di bagian belakang mobil dengan tulisan, “Horn Please”.  Tidak ada sumpah serapah antar pengemudi ketika ada kendaran yang datang dari arah berlawanan padahal jelas-jelas jalan tersebut di-dedicated untuk satu arah saja. Semuanya berjalan dengan damai. Polisi sebagai petugas pengawas jalanan terlihat bahagia dengan semua kesemrawutan yang ada. Benar-benar potret kehidupan jalan raya yang damai.

Bagaimana dengan kampung kita? Jelas ada perbedaan yang mendasar dengan kita kalau dibandingkan dengan India. Sudah jelas, cara kita mendefinisikan sebuah problem berbeda dengan cara mereka mendefinisikan sebuah masalah. Kalau bagi kita, macet adalah sebuah masalah, maka bagi mereka, macet adalah bagian dari kehidupan keseharian. Macet bukan untuk dikutuk. Macet bukan untuk dikritisi. Macet bukan essensi dari arti kehidupan yang sebenarnya. Macet hanyalah sebuah persamaan matematika dengan domain axis yang tak terbatas. Makanya, di India seberapapun macetnya, kendaran tidak pernah berhenti total. Kenapa? Karena tidak pernah di antara mereka saling mengunci. Adalah benar, di antara mereka saling berebut untuk berada di barisan paling depan, tetapi yang sudah berada di barisan terdepan saling memberi kesempatan untuk tetap berjalan. 

Sedemikian hebatnyakah India? Well, harus kita akui bahwa banyak kelebihan yang mereka (India) punya, sementara kita tidak memilkinya. Adakah India memiliki kelemahan? Saya jamin pasti punya dan banyak. Haruskah kita tuliskan daftar kelemahannya itu? Lha….. Ngapain? Kenapa kita harus sirik mencari-cari daftar kelemahan orang lain? Buat apa? Bukankah tugas kita adalah menyebarkan yang baik-baik? Iya to?

Di pesawat dalam perjalanan pulang menuju ke Jakarta, tidak henti hentinya bibir saya tersenyum. Masih jelas tergambar dalam ingatan saya, kantor kementerian yang bangunan fisiknya “apa adanya” hanya sekelas ruko kalau di tempat kita. Tergambar dengan gamblang, antrian panjang para “customer” di bangku deretan ruang tunggu kementerian seperti antrian di kelurahan kita. Terlukis dengan indah, sepeda yang dikayuh bapak-bapak tua dengan gerobak terkait dibelakangnya. 

Masih dengan tersenyum, otak saya bertanya, “Akankah kesabaran itu sebuah absolute  value yang harus dimiliki setiap manusia?” Atau jangan-jangan kesabaran hanyalah manifestasi atau bentuk lain dari bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu alias kapan saja? Hanya waktu yang nanti akan menentukan kapan akan terjadi. Benarkah? Embuh rek gak eruh. Wallohuallam. (Prahoro Nurtjahyo, 6 Mei 2017)

1 comment:

trm said...

Empat tahun yang lalu saya ke Mumbai, pertama kali ke India, inspeksi pabrik pompa LPG. Saya bingung juga kok hampir semua truk di belakangnya ada tulisan "horn please", "please honk", atau semacamnya. Saya tanya host saya. Katanya, karena karesori kabin truk itu bikinan kampung, dan visibilitinya gak bagus, maka mobil2 kecil sekelilingnya sering gak kelihatan, sehingga perlu "honking" supaya gak kesenggol. 😃. Walloohua'lam.