Thursday, August 30, 2007

Sabtuan

Pada setiap perjalanan hidup manusia akan selalu melintasi beberapa pos kejadian. Dan tentunya pada setiap lintasan kejadian itu harus dipahami sebagai bentuk perwujudan dari rahasia pena Illahi yang telah dituliskan untuk masing-masing hambaNya mulai ketika dia dilahirkan sampai nanti ketika ajal memanggilnya. Kalaulah perjalanan ini merupakan bagian lakon kehidupan karena sudah menjadi kehendak-Nya, maka tidak ada pilihan lain bagi manusia selain untuk dapat memberikan peran terbaiknya pada lakon itu. Iya to? Lha wong ini pilihannya Gusti Alloh…kok kita manusia mencoba mengingkarinya? Mbok ya dijalani saja.

Enam bulan yang lalu, saya memperoleh kesempatan untuk ikut kerja bakti pada salah satu kegiatan rutin kampung Sabtuan. Kalau setiap hari Jumat, anda mengenal istilah Jumatan, dimana bahasa awam saya mengartikan Jumatan sebagai transfer ibadah sholat Zuhur menjadi sholat Jumat, maka saya sebut ini dengan Sabtuan karena memang selalu diadakan pada hari Sabtu. Dan tentu saja, saya sama sekali tidak berencana untuk mentransfer ibadah sholat Zuhur menjadi sholat Sabtu. Bisa-bisa saya kuwalat dan sudah pasti akan dikejar-kejar oleh para Gus-Gus dan Santri-nya disana karena dapat dianggap nyempal dari ajaran Islam. Kalau Jumatan di-konotasi-kan sebagai barter ibadah, maka kegiatan Sabtuan bagi saya adalah upaya untuk menjajagi sebuah komitmen dengan masyarakat kampung.

Sabtuan pada tataran pelaksanaan ternyata sangat sederhana saja, yaitu proses belajar sholat dan mengaji bagi para santri kecil yang bertempat di musholla kecil di kampung kami. Pada tataran konsep, Sabtuan ini sebenarnya adalah sentuhan alam bawah sadar untuk menghidupkan komunikasi beribadah dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, sesungguhnya sangat mudah untuk mengukur sejauh mana kegiatan Sabtuan ini bermanfaat bagi warga kampung. Paling tidak ada dua barometer. Pertama, kalau para santri kecil itu sudah dapat melakukan sholat dan mengaji tanpa harus diingatkan oleh orang tuanya, nah disanalah para santri kecil itu berada pada level kesadaran betapa sholat dan mengaji sudah menjadi bagian dari 24 jam kegiatan mereka sehari-harinya. Kedua, tumbuhnya kebiasaan baru di rumah masing-masing warga kampung untuk tadarus bersama sebelum datang hari Sabtu ke Musholla kampung. Jika kedua barameter itu terpenuhi, maka Sabtuan ini sudah memberikan andil terbaiknya dalam sebuah komuniti di kampung ini. Begitu kira-kira saya mengartikan kegiatan Sabtuan ini. Sederhana saja.

Karena Sabtuan melibatkan proses belajar-mengajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa saya bukanlah Pengajarnya. Dengan gaya slengehan seperti ini tentu tidak punya tampang sebagai Guru ngaji. Makom saya sangat jauh dari itu. Suara hati tentunya berontak, “Lha wong jadwal sholatnya saja masih rubuh-rubuh gedang kok mau ngajari orang lain sholat. Kalau untuk membedakan huruf Shod dan To saja masih harus sering-sering melihat kamus huruf Hijaiyah, gitu kok mau mengajar membaca Quran”. Untuk hal-hal yang seperti ini, saya tahu diri, dan tidak perlu memaksakan diri.

Tentunya rasa syukur adalah bagian dari ”schedule” saya selanjutnya karena pernah terlibat dalam acara Sabtuan ini dari dekat selama enam bulan terakhir. Rasa syukur ini harus diimbangi dengan mawas diri. Ada ketakutan akan berubahnya perilaku karena manusia seringkali lupa akan fitrahnya. Satu hal yang ingin saya tumbuh kembangkan dalam tatanan masyarakat kampung ini, bahwa Sabtuan ini bukanlah milik perorangan, keluarga atau sekelompok orang. Ini adalah milik warga semuanya. Terlalu lama duduk pada sebuah posisi cantrik seperti sekarang ini tentunya akan lebih banyak mudlarat-nya ketimbang manfaatnya. Bukan suatu contoh pembelajaran yang baik, melainkan sengaja mengkondisikan sesuatu dengan irama yang monoton itu-itu saja. Dan tentunya ini bukanlah hal yang diinginkan oleh kampung ini.

Untuk membuktikan bahwa Sabtuan ini adalah milik bersama, saya akan kembali duduk pada posisi awal saya sebagai makmum dengan menyerahkan kembali amanah ini ke warga kampung. Posisi makmum-pun ada pilihannya. Dan saya pastikan tidak berada pada barisan paling belakang. Bukankah Sunah Rosul menganjurkan sebaik-baiknya makmum adalah yang berada pada shaf barisan terdepan?

Karena setiap perbuatan harus dapat dipertanggungjawabkan, maka tidak ada pilihan lain bagi saya untuk bersedia dievaluasi terhadap kegiatan enam bulan terakhir ini. Kalau sampeyan masih ingat prosesi ketiban sampur, maka sudah waktunya sampur itu berpindah untuk tarian selanjutnya. (Prahoro Nurtjahyo, Kamis Malam 30 Agustus 2007)

No comments: