Setiap peristiwa yang terjadi
selalu didahului oleh suatu sebab. Kata “sebab” umumnya terjadi karena perbedaan
cara memandang dan menyikapi. Komunikasi yang tidak utuh adalah kontribusi utama
yang menjadikan permasalahan yang seharusnya simple menjadi complicated dan
ruwet. Ternyata bentuk komunikasi inilah yang menjadi sumber keresahan yang ada
sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini.
Ketika Habibie meng-komunikasi-kan
segala uneg-uneg nya melalui buku,
maka sudah dapat ditebak akan ada yang pro
dan con tentang isi dari buku
itu. Selama masyarakat kita mampu
mengartikan bahwa informasi yang ada di buku itu adalah sisi pandang si Habibie,
tentunya masalahnya selesai di situ. Iya
to? Jangan sampai, tulisan itu (yang masih berupa personal opinion) dijadikan sebagai acuan atau dasar hukum untuk
bertindak. Lha modar kowe kalau
begitu caranya. Iya khan?
Ketidakberdayaan masyarakat dalam
menganalisa sebuah kejadian, sering kali dimanfaatkan oleh beberapa pelaku
untuk menghujat atau membenci. Yang
nanti ujung-ujungnya adalah demo.
Padahal belum tentu mereka yang ikut demo itu, tahu persis apa yang dia
demo-kan. Nah proses pembelajaran inilah sebenarnya yang menjadi tugas dari
para cerdik cendikia untuk terus menyebarluaskan ke semua elemen masyarakat
untuk think… think… think… dan tidak
mudah ter-provokasi. Mikir !!!
Biarkan Habibie dengan segala
ceritanya, biarkan Prabowo dengan counter ceritanya. Biarkan Jokowi dengan segala blusuk-kannya, biarkan yang anti-Jokowi dengan cercaan-nya. Pasti ada sesuatu yang path-nya akan
bersilangan dari cerita mereka berdua. Dari sanalah kita para pembaca, kawula cilik ini, untuk menganalisa
kasus per kasus dan akhirnya pada suatu kesimpulan pribadi (masih opini
sifatnya) bahwa ternyata si A yang berkata make
sense, sementara si B adalah pelawaknya. Tidak ada dari kita yang tahu sebenarnya apa yang
terjadi. Karena kebenaran mutlak itu hanya milik Alloh SWT.
Sering kita berusaha melupakan
masa lalu, padahal dari sanalah kita muncul dan dibesarkan. Terkadang kita berusaha untuk mengubur masa
lalu itu cepat-cepat karena satu dan lain hal, tanpa berusaha melihat value
yang sebenarnya ada. Too bad.
Saya ambil contoh perseteruan
antara Wali Songo (sembilan wali) dengan Syekh Siti Jenar. Saya yakin lebih dari 99% masyarakat jawa
mempunyai mind set bahwa yang menjadi
bintang atau lakon dari kelompok kebaikan adalah para Wali, sementara yang
ketiban sial peran menjadi bandit adalah pak Siti Jenar. Is that
true?
Saya mengulas panjang
tentang perseteruan para Wali vs. Syekh Siti Jenar ini pada awal tahun 1990an. Saya melihat banyak sisi lain
yang luput dari penglihatan kita. Kalau
benar seorang Wali adalah orang-orang pilihan dimana kedekatan mereka dengan Alloh
sangat eratnya, maka sudah menjadi hal yang masuk akal bahwa si Wali harus
bersih dari keinginan duniawi, semuanya dilakukan semata-mata karena ibadah
kepadaNya, tidak berpihak kepada golongan tertentu dan masih banyak persyaratan "bersih" lain yang harus mereka miliki. Iya to…? Namanya juga Wali…sudah sekian
tingkat di atas levelnya para Kyai. (Wah jadi tambah menarik kalau sudah mengulas
tentang Kyai masa kini…).
Sejarah menunjukan betapa para Wali lebih memihak ke bupati Aryo Penangsang ketimbang Joko Tingkir dalam
pertikaian antara Pajang dan Jipang, sebagai cikal bakalnya kerajaan Mataram.
Mungkinkah para Wali ini memposisikan diri - bertindak seolah sebagai Nabi Khidir
yang kontroversial di mata Nabi Musa? Mungkinkah tindakan para Wali ini sebenarnya sebuah pertanda bahwa berdirinya Mataram justeru akan memberikan banyak mudlorot-nya daripada manfaat-nya?
Maka ketika saya harus menilai
mana yang lebih baik, saya akan bilang “jangan beratkan informasi di satu sisi,
sudah pasti akan jomplang dan akhirnya
membuat saya menjadi tidak lagi obyektif dan muncul preference bukan karena
informasi yang sebenarnya tetapi informasi yang satu pihak.
Lenyapnya si Syeikh juga masih
menjadi rahasia sampai saat ini. Proses pengadilan itu hanya ada dilakukan oleh
mereka ber sepuluh. Inikah keadilan?
Kalau sampeyan punya waktu yang luang, sempatkanlah menonton movie “Jack
the Ripper”. Sebuah movie yang diangkat
berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Inggris. Film ini panjang durasinya dan
pernah ditayangkan di salah satu TV swasta nasional (saya lupa entah di RCTI
atau ANTV) pada tahun 1993. Antagonist dan
protagonist-nya adalah orang yang
sama. Konflik yang terjadi adalah
berbenturan antara value yang harus dipegang dan ketakutan akan dampak
sosiologi karena sebuah value. Pada bagian akhir film itu menjadi bukti
pembenaran apa yang telah dilakukan oleh si Jack sebagai pemerkosa sekalian
pembunuh setiap mangsanya dengan pisaunya. Kasus Jack ini sempat lama terbenam
cukup lama, dimana opini masyarakat terselamatkan dan sampai akhirnya muncul
versi yang sebenarnya.
Kalau saja kasus si Jack pada saat itu diselesaikan dengan cara carok alias langsung di sikat bleh terus mampus di-announce di public, bisa jadi profesi dokter tidak pernah ada di muka bumi ini. Pertanyaan dasarnya adalah "Haruskah seperti itu solusinya? Tidakkah ada jalan lain yang memberikan solusi yang elegan tanpa mengurangi value yang ada?" Wallohuallam (Prahoro Nurtjahyo, 20 Mei 2015)
Kalau saja kasus si Jack pada saat itu diselesaikan dengan cara carok alias langsung di sikat bleh terus mampus di-announce di public, bisa jadi profesi dokter tidak pernah ada di muka bumi ini. Pertanyaan dasarnya adalah "Haruskah seperti itu solusinya? Tidakkah ada jalan lain yang memberikan solusi yang elegan tanpa mengurangi value yang ada?" Wallohuallam (Prahoro Nurtjahyo, 20 Mei 2015)
1 comment:
Terima kasih pak de Prahoro Bonek atas celometannya, cukup menarik tak panteng terus channelnya
Post a Comment