Saya bukan ekonom dan bukan (atau belum menjadi) pelaku bisnis. Dunia perekonomian yang saya geluti hanya terbatas radiusnya pada tingkat keluarga saja. Analisa ekonomi saya sangat cekak dimana hanya bersandar pada data neraca pembukuan antara angka pengeluaran dan angka pemasukan. Dapat saya pastikan bahwa angka pemasukan hanya bersumber dari gaji, sementara angka pengeluaran bermacam-macam pintunya. Beberapa pintu pengeluaran itu diantaranya adalah cicilan rumah, cicilan membayar loan sekolah selama saya sekolah, sewa mobil, belanja bulanan, biaya bensin, sekolah anak-anak dan masih banyak lagi. Dari ilmu ekonomi yang saya pahami, segala macam pengeluaran itu harus dapat ter-cover oleh pemasukan. Dengan komposisi yang tidak berimbang, dimana sumber pemasukan hanya satu dan pintu pengeluaran banyak sekali, disinilah indahnya bermain-main dengan ilmu ekonomi. Maka kalau anda melihat wajah saya tersenyum, itu adalah sinyal bahwa saldo pemasukan dikurangi pengeluaran masih bernilai positif.
Dalam tahapan untuk mencoba berkontribusi pada ekonomi secara makro dan lebih tinggi lagi tingkatannya (bukan hanya tingkat keluarga), beberapa bulan terakhir, saya dan beberapa kolega di Houston secara marathon mencoba untuk bersinggungan secara fisik dengan beberapa BUMN di Indonesia. Istilah yang kami gunakan adalah “Sudah waktunya kita berjuang dengan tangan”. Artinya tidak ngomong saja, tetapi bagaimana caranya dapat berbuat suatu yang nyata dan dampaknya dapat dirasakan oleh rakyat banyak di tanah air.
Kenapa kok susah-susah mikirin negara? Belum tentu yang dipikirin juga ngerti? Sambil berkelakar, selalu saja alasan kami adalah mencari Noble Prize untuk diri sendiri tentang arti kehidupan. Kemudian mengapa kami memilih BUMN? Ada beberapa alasan. Alasan utamanya adalah bahwa BUMN inilah yang semula diharapkan sebagai salah satu motor pencetak pendapatan negara dan juga lahan yang strategis dalam upaya penyiapan Sumber Daya Manusia Indonesia yang tangguh. Dengan sistem yang baik, tentu harapannya adalah sumber pendapatan pemerintah tidak hanya dari satu sumber saja tetapi banyak sumbernya, salah satunya dari puluhan (ratusan?) BUMN ini. Ya jelas harus banyak sumbernya, lha wong rakyatnya juga banyak. Apakah dengan melakukan ini berarti kami berjiwa Patriotis? Belum tentu. Kalau seorang Patriot diukur berdasarkan nilai perjuangannya yang tanpa pamrih, maka saya jelas tidak termasuk dalam barisan Patriot ini. Saya harus jujur pada diri saya sendiri, karena sepertiga kehidupan saya telah didikte oleh azas kapitalisme dimana segala sesuatu akan menjadi seimbang kalau kita mampu melakukannya secara wajar dan pada tempatnya. There’s no such a free lunch.
Dengan networking yang kami punya di Houston, akhirnya kami berhasil meyakinkan beberapa investor untuk melirik ke Indonesia. Sudah barang tentu proses ini tidak Sim Salabim Azza Kadabra tiba-tiba datang begitu saja. Tentu Trust itu muncul setelah kami berinteraksi cukup lama dengan industri perminyakan di Houston. Dengan kesempatan bekerja di Houston dan berinteraksi dalam beberapa project untuk Oil dan Gas sangat membantu kami dalam hal mempromosikan kualitas SDM and Infrastruktur yang ada di Indonesia.
Kalau sebelumnya para investor di Houston hanya melirik Singapura atau Malaysia untuk kawasan Asia Tenggara, saat ini ada sinyal mereka mulai mempertimbangkan Indonesia. Sebulan yang lalu, salah seorang investor menghubungi kami tentang kemungkinan membangun Barge Platform di Indonesia. Dari sudut logika manapun dan siapapun akan mengatakan “Ini tentunya pekerjaan yang sangat gampang dan merupakan kesempatan yang bagus”, ibaratnya mau makan tinggal disuapi, karena kita tidak perlu susah-susah mencari investor tetapi si investor sudah datang sendiri dengan membawa uang dan mau mengerjakaannya di Indonesia. Kalau pembaca sepakat dengan kalimat di atas, ternyata tidak demikian halnya yang terjadi di negara kita Indonesia. Kalau pembaca berpikir tentunya bloon sekali orang kita kalau tidak mampu memanfaatkan kesempatan ini, maka itulah kenyataannya. Memang bloon. Ternyata project yang sudah disiapkan di atas mejapun lenyap begitu saja.
Kalau dasar berpikirnya adalah pure bisnis, tentunya kami akan menawarkan project ini ke pihak swasta di Indonesia (bukan ke BUMN, ya toh?). Lha wong perusahaan swasta yang ada juga banyak sekali, ada Bukaka atau Tripatra. Artinya, kita bisa saja bermain, dan kita akan mendapatkan komisi sekian persen dari nilai project yang kami bawa dari Houston ke Indonesia. Pada level ini, ternyata belum sama pemahaman kita tentang big picture membangun bangsa. Atau bisa jadi jalan pikiran seperti ini selalu muncul setiap kali ada orang membawa project ke Indonesia “Ente dapat berapa persen dari Investor” yang pada akhirnya “Bagi-bagi dong…?”
Selama bersinggungan dengan BUMN di Indonesia, satu hal yang sangat memperihatinkan adalah etika dalam berbisnis. Saya tentunya tidak perlu sewot tentang etika bisnis kalau saja BUMN ini milik mbah saya. Mau jungkir balik ya terserah saja, lha wong punya mbah saya sendiri. Lemahnya etika bisnis inilah yang akhirnya memberikan isyarat kepada kita untuk lebih berhati-hati kalau sudah melibatkan dua institusi: BUMN di Indonesia dan institusi lain di luar negeri (US misalnya). Beberapa pengalaman pahit sempat akan merusak Trust (yang selama ini dengan susah payah kami harus mendapatkannya) karena ulah BUMN kita tidak memakai kaidah atau etika dalam berbisnis.
Siapapun tahu bahwa tekanan politik sangat kental dan berpengaruh dalam kehidupan bisnis di Indonesia. Namun demikian, alasan ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk bertindak tidak etis dalam bisnis. Masih saja ada yang namanya tata karma dalam berbisnis. Lho…kenapa kok kaget sekarang? Bukannya sudah hal yang jamak dan sudah berlangsung lama di negara kita? Bukankah sumbangan kemanusiaan untuk Tsunami di Aceh saja, masih harus bayar untuk mengeluarkan kontainernya dari port Belawan Medan? Sudah menyumbang dan si penyumbang ini masih harus membayar biaya untuk mengeluarkan barang sumbangannya dari pelabuhan. Jadi kenapa kok kaget? inilah wajah kita selama ini. Sepertinya kita semua sudah terkena short term memory loss.
Akhirnya, kalau tahun lalu saya memaki habis-habisan cara kerja Laksamana Sukardi (LS) dan mendukung cara berpikir Kwik Kian Gie (KKG) dalam konteks jual-menjual BUMN, maka tahun ini saya menjadi bimbang dan perlu me-review kembali cara berpikir saya sebelumnya. Apa iya BUMN kita ini menjadi motor pencetak uang bagi pendapatan Negara seperti yang diharapkan? Atau malahan sebaliknya, jangan-jangan keberadaan BUMN ini hanya sapi perahan dan merupakan alat legitimasi beberapa kelompok tertentu untuk mendapatkan uang pinjaman dari negara lain karena alasan project. Sungguh sebuah legitimasi yang sakral karena keberadaannya harus disahkan oleh sebuah Undang-Undang Dasar (UUD).
Sudah tiba saatnya saya harus minta maaf ke pak LS karena bisa jadi pak LS ini sakti mandraguna sehingga sudah tahu betul kharakter dari BUMN kita. Mungkin juga, karena terlalu banyak orang Jawa disekitarnya, maka pak LS menjadi sungkan dan tidak tega untuk mengungkapkan dengan kata-kata lugas tentang kondisi BUMN kita yang sebenarnya. Sehingga daripada mempertahankannya lebih untung kalau dijual, jelas pendapatannya dan tidak digunakan bancakan orang per orang.
“Walah Mas… baru segitu saja kok pundung, sakit hati dan nggondok”. Kalau kejadian ini baru pertama kalinya, saya akan terima statement itu bahwa saat ini saya Pundung. Dan tentu tidak perlu ada tulisan ini. Karena kami sudah banyak mencobanya dan selalu berakhir dengan hal-hal yang tidak masuk akal, maka tulisan inipun muncul. Ketika hati sudah dongkol, beruntunglah anda kalau masih punya kolega yang sejalan. Kata-kata dari sahabat saya ini yang membuat saya tidak patah arang (paling tidak sampai sekarang) yaitu “Kita sudah pernah mencobanya. Artinya, telah gugur satu kewajiban kita yang kelak akan ditanya olehNya tentang apa saja yang sudah kamu lakukan untuk hidup ini”. Wallahualam (Prahoro Nurtjahyo, Rabu Malam, 30 Agustus 2006)
No comments:
Post a Comment