Hari Sabtu kemarin adalah acara akbar peringatan hari Kemerdekaan RI yang ke 61 tahun di kampung saya. Seperti halnya kampung-kampung yang lain, kampung saya tidak mau ketinggalan. Meskipun jauh dari pusat negeri, untuk menutup semua aktifitas peringatan 17 Agustusan, maka pada hari Sabtu kemarin diadakan bazaar sekalian menutup serangkaian kegiatan dan berakhir pekan bersama masyarakat. Sungguh merupakan pemilihan waktu yang tepat karena besoknya masih hari Minggu sehingga masih sempat untuk istirahat seharian. Terutama bagi mereka-mereka yang masuk dalam jajaran seksi sibuk.
Hanya saja, sialnya, cuaca sejak pagi hari sudah terlihat tidak bersahabat. Mulai subuh sudah terlihat awan mendung berarak menyelimuti kampung kami. Bahkan sempat turun hujan beberapa saat pada pagi hari. Sudah barang tentu ini membuat resah panitia bazaar. Saya datang sedikit terlambat pada acara bazaar ini. Sementara istri dan anak-anak saya sudah datang lebih awal karena anak saya perempuan harus berdandan ala putri Solo pada acara pembukaan.
Dari kejauhan saya melihat pak RT, salah satu tokoh terkemuka di kampung kami. Saya hampiri pak RT dan berbincang sejenak di pelataran tempat bazaar ini diadakan.
”Bagaimana pak RT khabarnya?”, sapa saya.
“Baik ..Mas…”, jawab pak RT.
“Wah sibuk ini ceritanya?”
“Yah begitulah Mas….. saya masih khawatir kalau hujannya turun, soalnya ramalan cuacanya 40% hujan pas malam hari. Wah... lak celaka to Mas kalau begitu?”
“Celaka bagaimana pak RT?”
“Lha iya…wong sudah capek-capek disiapkan selama hampir setengah tahun lho acara ini. Kalau hujan khan artinya acaranya muspro (baca: sia-sia)”
“Iya ya pak…Tapi sekarang mendungnya sudah hilang gitu lho”
“Wah.. Mas… jangan bilang siapa-siapa ya. Untuk mengusir hujan, tadi itu saya sudah telpon ke kantor Pusat sana. Saya bilang kalau kemungkinan besar akan turun hujan. Untung saja mereka punya ahli penolak hujan”
“Wah…hebat tenan kantor Pusat sana ya pak RT?”
“Iya Mas… saya tadi dipandu oleh ahli penolak hujan dari Pusat sana, bahwa saya harus menyiapkan lombok merah yang besar dan diposisikan berdiri menghadap ke langit.”
“Itu artinya apa Pak RT?”
“Artinya…lombok itu khan pedes Mas, dan dengan posisi menantang ke langit artinya menolak semua yang datang dari arah atas. Jadi hujannya tidak akan turun karena takut dengan lombok yang menghadap ke atas itu”
“Tapi sekarang udaranya panas sekali pak RT. Apakah ini artinya lomboknya tadi kebanyakan?”
“Wah saya juga nggak tahu itu Mas”
Karena jumlah pengunjung yang semakin banyak yang datang, kamipun bergeser sambil berpindah tempat untuk mojok. Kami masih meneruskan obrolan kami.
“Wah…. coba kita dulu merdeka bulan Maret atau April..gitu yah.. mungkin suasananya enak ya Mas, anginnya semilir, udaranya sejuk”, terang pak RT.
“Apakah mungkin kita bisa memindah harinya pak RT…. Nanti DPR di Pusat sana mencak-mencak”.
“Oalah Mas… di negeri kita ini apa to yang tidak mungkin? Semuanya yang aneh-aneh itu mungkin Mas”“Nah apakah kita juga harus mengganti Teks Proklamasi yang sudah terlanjur ditanda-tangani tanggal 17 Agustus 1945 itu pak RT?”
“Khan itu bisa di-amandemen-kan to Mas. Jangan underestimate gitu lho, kita ini jago kalau urusan amandemen Mas”“Kalau harinya diganti, apakah artinya anggaran rutin untuk peringatan HUT ini jadi berubah juga pak RT?”
“Wah iya ya Mas. Kok jadi tambah ruwet ya Mas? Ya sudahlah Mas, kalau begitu kita nikmati saja bulan Agustus ini, dengan apapun kondisinya”Saya amin-i saja pendapat pak RT ini dan obrolan kamipun akhirnya terputus karena saya harus ikut antri berebut mencari makanan jenis langka, yang adanya hanya pas acara bazaar 17 Agustusan saja.
Apakah sakral atau tidak, peringatan acara ini tergantung dari masing-masing yang merayakannya. Orang bilang semua itu dikembalikan ke niat awalnya. Ada berbagai macam bentuk cara memperingatinya. Ada yang memakai pakaian merah putih lengkap dengan songkok-nya, ada yang hanya memakai sandal jepit dengan kaos oblong bertuliskan I Love New York, ada yang memakai pakaian daerah dengan segala aksesorisnya, ada rok panjang, rok mini, celana panjang, celana pendek, pokoknya macem-macem modelnya. Dan acara yang padat itupun beragam isinya. Ada acara menari, pencak silat, menyanyi, mulai dari yang “berani” menyanyi sampai yang bener-bener menyanyi. Memang hebat sekali kampung kami ini, ternyata semua bakat yang terpendam dapat dengan beragam keluarnya ketika acara bazaar ini berlangsung dari tahun ke tahun.
Paling tidak, inilah yang baru bisa kami lakukan untuk memperingati hari yang bersejarah ini. Semuanya kembali ke niatan masing-masing dalam mengartikan kemerdekaan yang dilahirkan bulan Agustus ini. Jangan-jangan, e…siapa tahu, suatu saat nanti peringatannya berubah dan menjadi peringatan 17 Maretan atau 17 Aprilan, tetapi masih diniatkan untuk 17 Agustusan. Khan semua itu tergantung dengan niatnya! (Prahoro Nurtjahyo, Senin pagi, 21 Agustus 2006).
Hanya saja, sialnya, cuaca sejak pagi hari sudah terlihat tidak bersahabat. Mulai subuh sudah terlihat awan mendung berarak menyelimuti kampung kami. Bahkan sempat turun hujan beberapa saat pada pagi hari. Sudah barang tentu ini membuat resah panitia bazaar. Saya datang sedikit terlambat pada acara bazaar ini. Sementara istri dan anak-anak saya sudah datang lebih awal karena anak saya perempuan harus berdandan ala putri Solo pada acara pembukaan.
Dari kejauhan saya melihat pak RT, salah satu tokoh terkemuka di kampung kami. Saya hampiri pak RT dan berbincang sejenak di pelataran tempat bazaar ini diadakan.
”Bagaimana pak RT khabarnya?”, sapa saya.
“Baik ..Mas…”, jawab pak RT.
“Wah sibuk ini ceritanya?”
“Yah begitulah Mas….. saya masih khawatir kalau hujannya turun, soalnya ramalan cuacanya 40% hujan pas malam hari. Wah... lak celaka to Mas kalau begitu?”
“Celaka bagaimana pak RT?”
“Lha iya…wong sudah capek-capek disiapkan selama hampir setengah tahun lho acara ini. Kalau hujan khan artinya acaranya muspro (baca: sia-sia)”
“Iya ya pak…Tapi sekarang mendungnya sudah hilang gitu lho”
“Wah.. Mas… jangan bilang siapa-siapa ya. Untuk mengusir hujan, tadi itu saya sudah telpon ke kantor Pusat sana. Saya bilang kalau kemungkinan besar akan turun hujan. Untung saja mereka punya ahli penolak hujan”
“Wah…hebat tenan kantor Pusat sana ya pak RT?”
“Iya Mas… saya tadi dipandu oleh ahli penolak hujan dari Pusat sana, bahwa saya harus menyiapkan lombok merah yang besar dan diposisikan berdiri menghadap ke langit.”
“Itu artinya apa Pak RT?”
“Artinya…lombok itu khan pedes Mas, dan dengan posisi menantang ke langit artinya menolak semua yang datang dari arah atas. Jadi hujannya tidak akan turun karena takut dengan lombok yang menghadap ke atas itu”
“Tapi sekarang udaranya panas sekali pak RT. Apakah ini artinya lomboknya tadi kebanyakan?”
“Wah saya juga nggak tahu itu Mas”
Karena jumlah pengunjung yang semakin banyak yang datang, kamipun bergeser sambil berpindah tempat untuk mojok. Kami masih meneruskan obrolan kami.
“Wah…. coba kita dulu merdeka bulan Maret atau April..gitu yah.. mungkin suasananya enak ya Mas, anginnya semilir, udaranya sejuk”, terang pak RT.
“Apakah mungkin kita bisa memindah harinya pak RT…. Nanti DPR di Pusat sana mencak-mencak”.
“Oalah Mas… di negeri kita ini apa to yang tidak mungkin? Semuanya yang aneh-aneh itu mungkin Mas”“Nah apakah kita juga harus mengganti Teks Proklamasi yang sudah terlanjur ditanda-tangani tanggal 17 Agustus 1945 itu pak RT?”
“Khan itu bisa di-amandemen-kan to Mas. Jangan underestimate gitu lho, kita ini jago kalau urusan amandemen Mas”“Kalau harinya diganti, apakah artinya anggaran rutin untuk peringatan HUT ini jadi berubah juga pak RT?”
“Wah iya ya Mas. Kok jadi tambah ruwet ya Mas? Ya sudahlah Mas, kalau begitu kita nikmati saja bulan Agustus ini, dengan apapun kondisinya”Saya amin-i saja pendapat pak RT ini dan obrolan kamipun akhirnya terputus karena saya harus ikut antri berebut mencari makanan jenis langka, yang adanya hanya pas acara bazaar 17 Agustusan saja.
Apakah sakral atau tidak, peringatan acara ini tergantung dari masing-masing yang merayakannya. Orang bilang semua itu dikembalikan ke niat awalnya. Ada berbagai macam bentuk cara memperingatinya. Ada yang memakai pakaian merah putih lengkap dengan songkok-nya, ada yang hanya memakai sandal jepit dengan kaos oblong bertuliskan I Love New York, ada yang memakai pakaian daerah dengan segala aksesorisnya, ada rok panjang, rok mini, celana panjang, celana pendek, pokoknya macem-macem modelnya. Dan acara yang padat itupun beragam isinya. Ada acara menari, pencak silat, menyanyi, mulai dari yang “berani” menyanyi sampai yang bener-bener menyanyi. Memang hebat sekali kampung kami ini, ternyata semua bakat yang terpendam dapat dengan beragam keluarnya ketika acara bazaar ini berlangsung dari tahun ke tahun.
Paling tidak, inilah yang baru bisa kami lakukan untuk memperingati hari yang bersejarah ini. Semuanya kembali ke niatan masing-masing dalam mengartikan kemerdekaan yang dilahirkan bulan Agustus ini. Jangan-jangan, e…siapa tahu, suatu saat nanti peringatannya berubah dan menjadi peringatan 17 Maretan atau 17 Aprilan, tetapi masih diniatkan untuk 17 Agustusan. Khan semua itu tergantung dengan niatnya! (Prahoro Nurtjahyo, Senin pagi, 21 Agustus 2006).
No comments:
Post a Comment