Bagi orang yang belum paham tentang adat Jawa, maka setiap kali mendengar kata Jawa selalu meng-identik-kan antara Jawa dengan Yogja atau Solo, dimana kharakter masyarakat kedua daerah ini dikenal dengan khasnya yang lemah lembut dan nrimo. Apalagi cewek-nya (ini menurut gambaran penyanyi Waljinah dalam tembangnya Putri Solo)…wow sip deh… ada lesung pipit di pipinya, cara berjalannya yang lenggak-lenggok, ngalembono, dan teratur bahasanya (maklum khan… pendidikan ala kraton). Dalam komunikasi sehari-hari, sejak kecil mereka sudah terbiasa memakai tiga level bahasa Jawa secara bersamaan yaitu, Kromo Inggil (kepada dan antar para Bangsawan/Raja), Kromo (kepada yang lebih tua), dan Ngoko sebagai bahasa pergaulan sehari-hari bagi mereka yang sederajat.
Meskipun terkenal lemah-lembut, tidak berarti tidak ada copet atau garong di Yogja. Banyak juga jumlahnya. Dua kali saya ke pasar Bering Harjo, dan dua kali juga saya kecopetan. Ini terjadi karena saya terlanjur underestimate dengan gambaran yang serba lemah-lembut tadi. Kalau belum pernah bertemu dengan GALI (Gabungan Anak Liar), maka anda harus ekstra hati-hati kalau sedang berada di Yogja. Saya yakin anda akan bingung dengan bentuk criminal yang ada di kota ini. Dengan bahasa yang super halus, siapa yang akan mengira kalau mereka ini sedang meng-garong? Sambil menodongkan pisau, mereka berkata dengan sangat-sangat sopannya “Mas… nyuwun pangapunten, kawulo bade nyuwun artonipun panjenengan… menawi mboten wonten, gelang jam inggih mboten menopo-menopo!” (Mas…mohon maaf sebelumnya, saya mau minta uang sampeyan… kalau tidak ada, jam tangan juga boleh) :-)
Inikah budaya Jawa? Bisakah Jawa di-respresentasi-kan oleh Yogja atau Solo? Mungkin iya…mungkin juga tidak. Saya kebetulan (karena tidak punya hak pilih) dilahirkan di Jawa brang wetan (bagian timur) dan dibesarkan di daerah pesisir utara. Adat masyarakat dimana saya dibesarkan sangat bertolak belakang dengan adat masyarakat Yogja. Sebagai masyarakat pesisir, budaya daerah saya lebih terlihat urakan dan kasar. Tidak ada bahasa kromo (apalagi Kromo Inggil), yang ada hanyalah bahasa pasar. Dan mendengar pisuhan (umpatan) adalah sarapan setiap hari tanpa membedakan tempat (baik itu di pasar, kantor atau sekolah) dan juga tidak mengenal waktu (baik itu pagi, siang atau malam). Satu hal yang sama, kalau Yogja mempunyai GALI maka daerah saya mempunyai BONEK :-).
Tulisan ini tidak bercerita tentang perbedaan budaya antara dua masyarakat Jawa, yaitu antara daerah Kraton dan daerah pesisir. Tetapi lebih berupa ungkapan rasa trenyuh (baca: terharu) saya setelah mengikuti proses demokrasi di Indonesia yang saat ini giliran menyrempet raja Mataram, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ditengah peringatan ulang tahun yang ke-61 (?), Sri Sultan mengejutkan seluruh warga Yogja dengan statement bahwa beliau tidak bersedia menjadi Gubernur DIY (Daerah Istimewa Yogjakarta) untuk periode berikutnya.
Mengapa ini menjadi menarik untuk disimak? Paling tidak ada dua hal pokok yang harus dilihat dalam mensikapi statement-nya Sri Sultan perihal pernarikan diri ini.
Pertama, ini bukan masalah jabatan struktural pemerintahaan. Terlalu sederhana untuk seorang Raja selevel Sri Sultan melakukan maneuver politik dengan bertindak pundung (alias patah arang) hanya karena alasan jabatan. Nalar saya berkata ada sesuatu yang lebih fundamental sehingga Sri Sultan mundur dari jabatan Gubernur ini. Coba kita berpikir barang sejenak. Kurang kuasa apa Sri Sultan ini? Selama ini tidak ada bad history dalam track record nya. Bagi masyarakat Yogja, Sri Sultan adalah pengayom rakyat dan penguasa tertinggi yang mewakili wilayah kraton Ngayogjakarta. Lha kalau Gubernurnya bukan Raja Mataram, siapa lagi? Memangnya Gubernur baru nanti punya kuasa apa? Apakah yang baru nanti akan mempunyai muka dimata rakyat Yogja? Karena siapapun Gubernurnya toh rakyat Yogja hanya patuh dan mau mendengar wejangan HANYA dari Rajanya (bukan dari Gubernur dan bukan pula dari Presiden RI). Pada kenyataannya, selama ini mereka patuh kepada Sri Sultan bukan karena Sri Sultan sebagai Gubernur DIY, tetapi mereka patuh dan tunduk karena mereka menganggap bahwa semua ini adalah titah dari raja Mataram. Iya to?
Kedua, ini adalah bentuk pembelajaran kepada pemerintah pusat agar mereka aware bahwa treatment untuk masing-masing daerah tingkat satu dari Sabang sampai Merauke adalah berbeda sesuai dengan nilai-nilai historisnya. Presiden RI (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri) sudah di-jewer oleh Sri Sultan. Mari kita baca ulang sejarah bergabungnya Kraton Yogjakarta dalam wilayah RI. Saya tidak tahu persis isinya seperti apa. WHAT IF kalau ada klausal yang memperbolehkan Kraton Ngayogjakarta lepas dari wilayah RI apabila sejumlah sekian persen rakyat Mataram menyetujuinya? Toh.... rakyat Yogja manut hanya pada Raja Yogja, bukan Presiden RI. Meskipun saya yakin Sri Sultan tidak segegabah itu menurunkan Talak kepada Republik ini, tetapi option seperti itu selalu saja ada, apalagi dijaman otonomi daerah seperti ini. Iya to?
Pengetahuan saya tentang raja Yogja yang terakhir ini sangat-sangat minim. Memori ingatan saya lebih banyak dijejali oleh figure fenomenal sang Ayah, Sri Sultan hamengkubuwono IX yang mempunyai nama asli Dorodjatun yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang ke-2 setelah Bung Hatta. Dalam salah satu episode tulisan beliau di buku Tahta Untuk Rakyat, sang Ayah bercerita tentang karakter putra mahkota yang kelak akan menggantikan dirinya ini. Dituliskan dalam buku itu, bagaimana si anak memperoleh different treatment, bukan dalam fasilitas, tetapi dalam hal ”belajar yang lebih” untuk mengabdi dan mengetahui tentang sosio masyarakat karena kelak dia-lah yang akan menggantikan posisinya sebagai Raja.
Inikah hasil pendidikan dari sang Ayah selama ini? Berhasilkah sang Ayah menurunkan nilai-nilai kepemimpinan kepada si anak? Saya tidak tahu kartu truf apa yang sedang dimainkan oleh Sri Sultan saat ini. Bagi saya tidak terlalu penting truf-nya apa, selama Tahta yang diembannya masih Untuk Rakyat. Dan bisa jadi, inilah sebenarnya message yang ingin disampaikan oleh Sri Sultan kepada para pemimpin di pusat sana bahwa Tahta ini adalah Untuk Rakyat. Dalam hirarki pemerintahan, jelas DIY adalah bagian dari wilayah RI. Apakah Sri Sultan melakukannya sebagai bentuk protes karena pemerintah pusat tidak bermain sesuai makom-nya untuk mengabdi pada Rakyat? Inikah bentuk perlawanan yang di-adopt oleh Sri Sultan dengan memakai basis kraton: Menang tanpo Ngasorake? (Menang tanpa harus dengan mengalahkan), nglurug tanpo bolo? (Berperang tanpa harus membawa pasukan). Yang jelas daftar pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan terus bertambah dan hanya Sri Sultan-lah yang tahu apa sebenarnya keinginan beliau untuk rakyat Mataram.
Apapun dasar pemikiran yang dipakai oleh Sri Sultan dalam mengambil keputusan ini, sudah barang tentu bukan merupakan babak terakhir dari percaturan politik Indonesia. Dalam bermain catur, inilah langkah awal sebuah kuda hitam yang sedang mengancam posisi raja putih. Tidak ada yang dapat anda lakukan selain harus memindah posisi raja putih ke tempat yang lain. Kecuali dalam melangkahkan kuda hitam itu ada blind spot yang ternyata dapat menjegal maksud dari si kuda hitam.
Meskipun terkenal lemah-lembut, tidak berarti tidak ada copet atau garong di Yogja. Banyak juga jumlahnya. Dua kali saya ke pasar Bering Harjo, dan dua kali juga saya kecopetan. Ini terjadi karena saya terlanjur underestimate dengan gambaran yang serba lemah-lembut tadi. Kalau belum pernah bertemu dengan GALI (Gabungan Anak Liar), maka anda harus ekstra hati-hati kalau sedang berada di Yogja. Saya yakin anda akan bingung dengan bentuk criminal yang ada di kota ini. Dengan bahasa yang super halus, siapa yang akan mengira kalau mereka ini sedang meng-garong? Sambil menodongkan pisau, mereka berkata dengan sangat-sangat sopannya “Mas… nyuwun pangapunten, kawulo bade nyuwun artonipun panjenengan… menawi mboten wonten, gelang jam inggih mboten menopo-menopo!” (Mas…mohon maaf sebelumnya, saya mau minta uang sampeyan… kalau tidak ada, jam tangan juga boleh) :-)
Inikah budaya Jawa? Bisakah Jawa di-respresentasi-kan oleh Yogja atau Solo? Mungkin iya…mungkin juga tidak. Saya kebetulan (karena tidak punya hak pilih) dilahirkan di Jawa brang wetan (bagian timur) dan dibesarkan di daerah pesisir utara. Adat masyarakat dimana saya dibesarkan sangat bertolak belakang dengan adat masyarakat Yogja. Sebagai masyarakat pesisir, budaya daerah saya lebih terlihat urakan dan kasar. Tidak ada bahasa kromo (apalagi Kromo Inggil), yang ada hanyalah bahasa pasar. Dan mendengar pisuhan (umpatan) adalah sarapan setiap hari tanpa membedakan tempat (baik itu di pasar, kantor atau sekolah) dan juga tidak mengenal waktu (baik itu pagi, siang atau malam). Satu hal yang sama, kalau Yogja mempunyai GALI maka daerah saya mempunyai BONEK :-).
Tulisan ini tidak bercerita tentang perbedaan budaya antara dua masyarakat Jawa, yaitu antara daerah Kraton dan daerah pesisir. Tetapi lebih berupa ungkapan rasa trenyuh (baca: terharu) saya setelah mengikuti proses demokrasi di Indonesia yang saat ini giliran menyrempet raja Mataram, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ditengah peringatan ulang tahun yang ke-61 (?), Sri Sultan mengejutkan seluruh warga Yogja dengan statement bahwa beliau tidak bersedia menjadi Gubernur DIY (Daerah Istimewa Yogjakarta) untuk periode berikutnya.
Mengapa ini menjadi menarik untuk disimak? Paling tidak ada dua hal pokok yang harus dilihat dalam mensikapi statement-nya Sri Sultan perihal pernarikan diri ini.
Pertama, ini bukan masalah jabatan struktural pemerintahaan. Terlalu sederhana untuk seorang Raja selevel Sri Sultan melakukan maneuver politik dengan bertindak pundung (alias patah arang) hanya karena alasan jabatan. Nalar saya berkata ada sesuatu yang lebih fundamental sehingga Sri Sultan mundur dari jabatan Gubernur ini. Coba kita berpikir barang sejenak. Kurang kuasa apa Sri Sultan ini? Selama ini tidak ada bad history dalam track record nya. Bagi masyarakat Yogja, Sri Sultan adalah pengayom rakyat dan penguasa tertinggi yang mewakili wilayah kraton Ngayogjakarta. Lha kalau Gubernurnya bukan Raja Mataram, siapa lagi? Memangnya Gubernur baru nanti punya kuasa apa? Apakah yang baru nanti akan mempunyai muka dimata rakyat Yogja? Karena siapapun Gubernurnya toh rakyat Yogja hanya patuh dan mau mendengar wejangan HANYA dari Rajanya (bukan dari Gubernur dan bukan pula dari Presiden RI). Pada kenyataannya, selama ini mereka patuh kepada Sri Sultan bukan karena Sri Sultan sebagai Gubernur DIY, tetapi mereka patuh dan tunduk karena mereka menganggap bahwa semua ini adalah titah dari raja Mataram. Iya to?
Kedua, ini adalah bentuk pembelajaran kepada pemerintah pusat agar mereka aware bahwa treatment untuk masing-masing daerah tingkat satu dari Sabang sampai Merauke adalah berbeda sesuai dengan nilai-nilai historisnya. Presiden RI (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri) sudah di-jewer oleh Sri Sultan. Mari kita baca ulang sejarah bergabungnya Kraton Yogjakarta dalam wilayah RI. Saya tidak tahu persis isinya seperti apa. WHAT IF kalau ada klausal yang memperbolehkan Kraton Ngayogjakarta lepas dari wilayah RI apabila sejumlah sekian persen rakyat Mataram menyetujuinya? Toh.... rakyat Yogja manut hanya pada Raja Yogja, bukan Presiden RI. Meskipun saya yakin Sri Sultan tidak segegabah itu menurunkan Talak kepada Republik ini, tetapi option seperti itu selalu saja ada, apalagi dijaman otonomi daerah seperti ini. Iya to?
Pengetahuan saya tentang raja Yogja yang terakhir ini sangat-sangat minim. Memori ingatan saya lebih banyak dijejali oleh figure fenomenal sang Ayah, Sri Sultan hamengkubuwono IX yang mempunyai nama asli Dorodjatun yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang ke-2 setelah Bung Hatta. Dalam salah satu episode tulisan beliau di buku Tahta Untuk Rakyat, sang Ayah bercerita tentang karakter putra mahkota yang kelak akan menggantikan dirinya ini. Dituliskan dalam buku itu, bagaimana si anak memperoleh different treatment, bukan dalam fasilitas, tetapi dalam hal ”belajar yang lebih” untuk mengabdi dan mengetahui tentang sosio masyarakat karena kelak dia-lah yang akan menggantikan posisinya sebagai Raja.
Inikah hasil pendidikan dari sang Ayah selama ini? Berhasilkah sang Ayah menurunkan nilai-nilai kepemimpinan kepada si anak? Saya tidak tahu kartu truf apa yang sedang dimainkan oleh Sri Sultan saat ini. Bagi saya tidak terlalu penting truf-nya apa, selama Tahta yang diembannya masih Untuk Rakyat. Dan bisa jadi, inilah sebenarnya message yang ingin disampaikan oleh Sri Sultan kepada para pemimpin di pusat sana bahwa Tahta ini adalah Untuk Rakyat. Dalam hirarki pemerintahan, jelas DIY adalah bagian dari wilayah RI. Apakah Sri Sultan melakukannya sebagai bentuk protes karena pemerintah pusat tidak bermain sesuai makom-nya untuk mengabdi pada Rakyat? Inikah bentuk perlawanan yang di-adopt oleh Sri Sultan dengan memakai basis kraton: Menang tanpo Ngasorake? (Menang tanpa harus dengan mengalahkan), nglurug tanpo bolo? (Berperang tanpa harus membawa pasukan). Yang jelas daftar pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan terus bertambah dan hanya Sri Sultan-lah yang tahu apa sebenarnya keinginan beliau untuk rakyat Mataram.
Apapun dasar pemikiran yang dipakai oleh Sri Sultan dalam mengambil keputusan ini, sudah barang tentu bukan merupakan babak terakhir dari percaturan politik Indonesia. Dalam bermain catur, inilah langkah awal sebuah kuda hitam yang sedang mengancam posisi raja putih. Tidak ada yang dapat anda lakukan selain harus memindah posisi raja putih ke tempat yang lain. Kecuali dalam melangkahkan kuda hitam itu ada blind spot yang ternyata dapat menjegal maksud dari si kuda hitam.
Selebihnya masih banyak pekerjaan rumah dari Sri Sultan yang harus dihadapi berkaitan dengan urusan dapur di Mataram. Ini perlu perhatian yang serius karena setiap jengkal langkah yang salah dapat menjerumuskan Mataram ke lembah yang sama dengan tetangga sebelahnya di Mangkunegaraan Solo yang masih geger rebutan kekuasaan pasca sang Raja wafat.
Kalau Sri Sultan, sebagai Raja Mataram, dengan gigihnya berpikir keras untuk mengabdi kepada rakyat Mataram, lalu siapa yang harus mengabdi untuk rakyat Indonesia? Ya jawabannya tentu adalah Raja Indonesia bukan Presiden RI, begitu barangkali ya? Just an opinion. (Prahoro Nurtjahyo, Jumat, 20 April 2007)