Thursday, September 20, 2007

Baju Saya Tanpa Warna

Saya berkesempatan berbincang-bincang dengan salah seorang teman yang kebetulan menjadi akrab karena secara kebetulan juga anak-anak kami sama-sama menjadi santri kecil pada salah satu pondok pesantren di kampung kami. Kata kebetulan perlu saya garis bawahi karena kalau pondok pengajian kecil ini tidak pernah ada, maka bisa jadi hubungan kami-pun tidak pernah ada. Paling-paling hanya sekedar “Hallo Mas-Mbak bagaimana khabarnya?” pada setiap kali berpapasan. Ungkapan salam yang jamak kita dengar dalam bahasa sehari-hari sebagai bentuk basa-basi budaya timur. Iya to ?

Untuk itu, sudah sepantasnya saya harus bersyukur dengan keberadaan pondok pesantren anak-anak kecil di kampung ini. Bagaimana tidak? Hubungan persaudaraan yang semula hanya berada pada level “Hallo…” sekarang sudah mulai berubah menjadi ”Mas... Long weekend ini mau ke mana? Ayo pergi mancing yuk!” 

Dan tentunya kalau hubungan ini terus berlanjut bukanlah hal yang tidak mungkin jika suatu saat nanti malah dapat di-pleset-kan dan muncul ungkapan yang jauh lebih berani seperti, “Wah... Gue lagi bokek nih… bisa ngutang kagak?” Wah kalau hubungannya sudah mencapai level seperti ini berarti sistemnya harus segera di-reboot ulang :-).

Si teman ini bertanya apakah saya adalah salah satu anggota dari aliran tertentu. Sebelum saya menjawabnya, saya balik bertanya, “Bagaimana sampeyan dapat berkesimpulan seperti itu?” Si teman ini dengan santainya menjawab, “O gampang mas… saya sering melihat baju yang sampeyan pakai selalu warna yang sama dengan warna pengikut aliran itu”. Waduh cilaka awak ini. Kenapa urusan warna baju ternyata bisa berakibat fatal seperti ini?

Mengkaitkan warna baju dengan pengikut aliran tertentu sungguh sangat jauh dari intension saya sebagai end user alias pemakai baju. Saya lebih mengartikan baju sebagai piranti penutup aurat, dan bukan bagian dari ritual kegiatan berorganisasi. Kalau warna baju sangat erat kaitannya dengan eksklusifitas kelompok tertentu, walah mengerikan sekali hidup ini. Bisa-bisa banyak orang yang keluar dengan telanjang karena takut di-cap sebagai pengikut aliran A atau penganut jamaahnya B. Wah jadi seru juga :-)

Ada permasalahan yang lebih crucial (bukan dalam level warna baju) yang saat ini sedang berkembang biak cepat dalam tatanan hidup bermasyarakat kita hanya karena mengikuti selera mode yang lagi nge-trend. Ketika jaman edan sekarang ini memunculkan berbagai model baju dengan segala design-nya, saya jadi sering bertanya sendiri, “Apakah konsep berpakaian mengalami degradasi nilai seiring dengan berjalannya waktu?”

Coba saja sampeyan bayangkan, model baju you-can-see (alias model baju dimana bagian kelek (baca: ketiak) dibiarkan ke-angin-an) memang sudah kita kenal sejak jaman bahuela dulu. Bahkan almarhum nenek saya sering memakainya (tanpa kebaya bagian luar, hanya kemben saja) kalau mengajak saya ke sawah atau kebon karena panas terik matahari lebih dominan dari pada semilirnya angin udara sawah/kebon.

Lha apa dong bedanya model baju waktu itu dengan jaman sekarang? Wow ada bedanya. Model baju you-can-see jaman sekarang bukan hanya kelek saja yang keanginan, tetapi bagian udel pun juga bagian yang ingin dipromosikan (so, you can see ;-) ). Belum lagi model-model baju yang lain. 


Beberapa tahun belakangan ini muncul baju model sundel bolong yang bagian belakangnya dibiarkan melongo. Jadi setiap kali berpapasan (terutama kalau yang memakai perempuan), orang lain (kaum laki-laki tentunya) selalu ikut memutar kepalanya 180 derajat untuk melihat punggung pemakai pakaian ini. Bukan karena iseng, tetapi hanya untuk meyakinkan apakah ini sundel bolong beneran atau jadi-jadian? Macem-macem saja memang ulah para designer pakaian ini. Mereka sepertinya lupa bahwa setiap kontribusi hasil kerja mereka akan selalu dimintai pertanggungjawabannya kelak. Tuh… kapokmu kapan :-(

Kembali ke masalah warna baju. Kepada sampeyan-sampeyan yang kemungkinan melihat saya terlalu sering memakai warna baju tertentu, maka percayalah bahwa itu lebih bernuansa kebetulan saja. Mengapa? Paling tidak ada 3 alasan yang harus saya ajukan untuk pembelaan diri berkaitan dengan urusan warna baju ini.

Pertama. Istri saya adalah salah satu penganut pahamisme, “If I buy it, You wear it”. Kalau konsep ini diterapkan, tentunya sampeyan tahu resikonya jika tidak mau memakai baju yang dibelikan oleh sang istri. Daripada nanti dikurangi jatah harian-nya :-), ya sudah saya manut saja dengan sukarela memakai baju yang sudah terlanjur dibelikan oleh sang istri (tidak peduli warnanya apa). Toh pada akhirnya baju, bagi saya, hanyalah alat untuk menutup aurat saja.

Kedua. Warna merah, kuning, hijau atau warna lainnya adalah sekumpulan spectrum penghias mata saja. Saya tidak alergi dengan warna tertentu, dan pada saat yang sama, saya juga tidak mem-favorit-kan warna tertentu untuk menempel pada tubuh saya. Karena warna yang beraneka adalah karunia Illahi dan bukan hak manusia untuk mengangkat salah satunya menjadi yang terbaik dibandingkan yang lain. Iya apa iya? :-)

Ketiga. Hidup dirantau dengan bilangan keluarga berjumlah lima tentu sangat erat hubungannya dengan tebalnya dompet. Dengan ber-madzab ekonomi keluarga ala koboi seperti keluarga kami, tentunya budget pengeluaran disusun berdasarkan skala prioritas. Dan ketika baju menjadi kebutuhan, maka yang kami tunggu adalah ”kapan ya ada obral”. Dan karena sifatnya obral, tentunya saya dan keluarga tidak mempunyai hak pilih, dimana (sialnya) warna baju yang sering di-obral umumnya ya yang itu-itu saja.

Dan kalau ternyata sampeyan masih meragukan posisi berdiri saya karena alasan warna baju, maka saya katakan bahwa baju saya tidak mempunyai warna. Lha bagaimana dengan suatu saat nanti? Saya tidak tahu jawabannya. Mengapa? Karena yang saya miliki adalah apa yang saya peroleh hari kemarin dan hari ini dan sifatnya hanya titipan-Nya saja. Lha dimana posisi hari esok? Saya masih berkeyakinan bahwa hari esok adalah mutlak hanya milik dari Alloh SWT. Wallahualam. (Prahoro Nurtjahyo, Kamis 20 September 2007).

2 comments:

A B A N G said...

KANG MAS, KULO NGATURAKEN SUGENG RIYADI 1428 H,
NYUWUN AGUNGING SAMODRA PANGAKSAMI LAHIR KALIYAN BATHIN

Prahoro Nurtjahyo said...

Sami-sami bang Zul. Mugi tansah pinaringan rahayuning Gusti. Salam katur kagem keluarga (Woodland, San Antonio kalihan Atlanta) :-)