Skak Mat adalah istilah dalam bermain catur ketika kita memindahkan buah bidak pada posisi tertentu yang ternyata justeru malah menjadi blunder dan mengakibatkan kita tidak dapat bergerak lagi. Tidak dapat bergerak alias Mati.
Dua minggu yang lalu, saya benar-benar kena skak mat. Perkaranya sepele, dan karena kejadian ini saya akan berhati-hati untuk next time. Yaitu meminta anak ragil (baca: paling kecil) saya untuk menjadi Imam pada sholat Maghrib berjamaah di Keluarga. Kebetulan kami sekeluarga mempunyai kebiasaan bergiliran menjadi Imam. Si Kecil kebagian menjadi Imam pada sholat Maghrib, si Sulung kebagian sholat Isha, sementara saya milih sholat Subuh.
Kejadian ini menjadi special karena kebetulan si kecil sedang menghadapi ujian untuk mempersiapkan sekolah mengaji hari Sabtu. Jadi sekalian untuk memperbanyak jumlah surat hafalannya, saya minta dia mempraktekannya dalam sholat Magrib hari itu.
Beberapa hari sebelum kejadian, saya sudah sampaikan brainwashing kepada si kecil bahwa posisi yang paling mulia dalam deretan sholat berjamaah adalah mereka yang berada pada barisan terdepan. Kalau garis ini saya interpolasi lebih jauh, artinya posisi Imamlah sebenarnya yang paling baik. Karena posisi ini menuntut seseorang untuk memenuhi beberapa criteria yang tidak dimiliki oleh seseorang yang “hanya biasa-biasa” saja kemampuannya. Iya to? Beberapa criteria itu berkaitam erat dengan vertical quality antara si manusia dengan Sang Penciptanya.
Sebagai “penentram hati”, saya tambahkan bahwa posisi Imam ini akan aman apalagi kalau di-supprt oleh barisan makmum yang paling depan yang senantiasa membantu jika diperlukan. Inilah para Makmum handalan yang biasanya posisinya tepat di belakang Imam agak ke sebelah kanan.
Dan hari itu, ketika saya minta si doi menjadi Imam, maka dengan full confidence, si kecil maju ke sajadah paling depan dan bersiap memposisikan diri sebagai Imam lengkap dengan sarung kecilnya, sementara kami dibelakangnya manut saja sebagai makmumnya.
Sholatpun dimulai. Diawali dengan lafal niat, kemudian dia meneruskan dengan takbirotual ikhrom, kemudian doa iftitah yang saya sengaja minta untuk dikencangkan bacaannnya. Semua lancar. Aman. Mantap.
Kemudian diteruskan dengan bacaan surat Al-Fatihah. Sekali lagi aman lancar dan terkendali, meskipun ada beberapa makhraj yang perlu dibenahi tapi overall rating is excellence untuk anak seusia 8 tahun.
Tibalah dengan bacaan surat. Inilah moment Skak Mat itu.
Dibacalah oleh si kecil petikan ayat yang saya sama sekali belum pernah mendengarnya. Sialnya lagi, dia hanya hafal satu penggalan dalam ayat itu dan berharap ayahnya ini untuk membenarkan dan memberikan clue, “What’s next?”
Lha Edan tenan to…. Lha wong saya lho baru mendengarnya saja pertama kali ketika dia membacanya.
Setelah beberapa menit vacuum, akhirnya saya yang berdiri di barisan belakang yang meng-claim sebagai Makmum handalan, saya bisikan dengan suara lirih, “Sudah Qulhu saja.” Dan si kecil ini akhirnya banting setir membaca surat favotirnya Al-Ikhlas dengan lancar pada rokaat pertama, diikuti ruku’ sampai akhirnya ke sujud.
Memasuki rokaat kedua… keringat dingin saya sudah mulai keluar. Saya menjadi dag-dig-dug lagi…wah kalau si Imam kecil ini “macam-macam” pilihan bacaan sholatnya… bisa berabe Makmum handalannya ini. Dan benarlah. Ketakutan itu menjadi kenyataan. Si kecil kembali lagi membaca petikan ayat yang berbeda dengan sebelumnya dimana "again" saya sendiri juga belum pernah menghafalkannya. Aduh… malunya makmum tua ini.
Selesai sholat, saya salami si Imam kecil ini dan saya tidak berani melihat raut mukanya karena benar-benar malu. Saya hanya mampu mengatakan, “You did great job”. Entah karena tulus dari hati atau hanya untuk menutupi rasa malu ayahnya, si kecil masih saja mengatakan,”Thanks Dad for helping my position”.
Belakangan akhirnya saya ketahui, bahwa penggalan ayat yang dibaca pada rokaat pertama adalah surat Al-A’raaf ayat 158. Sementara pada rokaat kedua, si kecil mengambil bagian pertama dari surat Al-‘Ankabuut ayat 45. Kok bisa? Karena kebetulan dua ayat itu yang dia pernah baca berulang-ulang ketika belajar tentang rukun Islam. Sialnya…ayahnya ini tidak pernah ikut membaca bareng dengannya. Akhirnya kenalah getahnya…skak mat. Rasain lu sekarang!
Mulai dari hari itu, ada tambahan pertanyaan untuk si kecil sebelum dia menjadi Imam memimpin sholat Maghrib. Saya tanyakan dulu surat apa yang akan dibaca … he… he… he… in case saya belum hafal, saya kantongi Quran kecil di saku untuk contekan dan off course for peaking. Wallohualam (Prahoro Nurtjahyo, Minggu, 16 Mei 2010).
Dua minggu yang lalu, saya benar-benar kena skak mat. Perkaranya sepele, dan karena kejadian ini saya akan berhati-hati untuk next time. Yaitu meminta anak ragil (baca: paling kecil) saya untuk menjadi Imam pada sholat Maghrib berjamaah di Keluarga. Kebetulan kami sekeluarga mempunyai kebiasaan bergiliran menjadi Imam. Si Kecil kebagian menjadi Imam pada sholat Maghrib, si Sulung kebagian sholat Isha, sementara saya milih sholat Subuh.
Kejadian ini menjadi special karena kebetulan si kecil sedang menghadapi ujian untuk mempersiapkan sekolah mengaji hari Sabtu. Jadi sekalian untuk memperbanyak jumlah surat hafalannya, saya minta dia mempraktekannya dalam sholat Magrib hari itu.
Beberapa hari sebelum kejadian, saya sudah sampaikan brainwashing kepada si kecil bahwa posisi yang paling mulia dalam deretan sholat berjamaah adalah mereka yang berada pada barisan terdepan. Kalau garis ini saya interpolasi lebih jauh, artinya posisi Imamlah sebenarnya yang paling baik. Karena posisi ini menuntut seseorang untuk memenuhi beberapa criteria yang tidak dimiliki oleh seseorang yang “hanya biasa-biasa” saja kemampuannya. Iya to? Beberapa criteria itu berkaitam erat dengan vertical quality antara si manusia dengan Sang Penciptanya.
Sebagai “penentram hati”, saya tambahkan bahwa posisi Imam ini akan aman apalagi kalau di-supprt oleh barisan makmum yang paling depan yang senantiasa membantu jika diperlukan. Inilah para Makmum handalan yang biasanya posisinya tepat di belakang Imam agak ke sebelah kanan.
Dan hari itu, ketika saya minta si doi menjadi Imam, maka dengan full confidence, si kecil maju ke sajadah paling depan dan bersiap memposisikan diri sebagai Imam lengkap dengan sarung kecilnya, sementara kami dibelakangnya manut saja sebagai makmumnya.
Sholatpun dimulai. Diawali dengan lafal niat, kemudian dia meneruskan dengan takbirotual ikhrom, kemudian doa iftitah yang saya sengaja minta untuk dikencangkan bacaannnya. Semua lancar. Aman. Mantap.
Kemudian diteruskan dengan bacaan surat Al-Fatihah. Sekali lagi aman lancar dan terkendali, meskipun ada beberapa makhraj yang perlu dibenahi tapi overall rating is excellence untuk anak seusia 8 tahun.
Tibalah dengan bacaan surat. Inilah moment Skak Mat itu.
Dibacalah oleh si kecil petikan ayat yang saya sama sekali belum pernah mendengarnya. Sialnya lagi, dia hanya hafal satu penggalan dalam ayat itu dan berharap ayahnya ini untuk membenarkan dan memberikan clue, “What’s next?”
Lha Edan tenan to…. Lha wong saya lho baru mendengarnya saja pertama kali ketika dia membacanya.
Setelah beberapa menit vacuum, akhirnya saya yang berdiri di barisan belakang yang meng-claim sebagai Makmum handalan, saya bisikan dengan suara lirih, “Sudah Qulhu saja.” Dan si kecil ini akhirnya banting setir membaca surat favotirnya Al-Ikhlas dengan lancar pada rokaat pertama, diikuti ruku’ sampai akhirnya ke sujud.
Memasuki rokaat kedua… keringat dingin saya sudah mulai keluar. Saya menjadi dag-dig-dug lagi…wah kalau si Imam kecil ini “macam-macam” pilihan bacaan sholatnya… bisa berabe Makmum handalannya ini. Dan benarlah. Ketakutan itu menjadi kenyataan. Si kecil kembali lagi membaca petikan ayat yang berbeda dengan sebelumnya dimana "again" saya sendiri juga belum pernah menghafalkannya. Aduh… malunya makmum tua ini.
Selesai sholat, saya salami si Imam kecil ini dan saya tidak berani melihat raut mukanya karena benar-benar malu. Saya hanya mampu mengatakan, “You did great job”. Entah karena tulus dari hati atau hanya untuk menutupi rasa malu ayahnya, si kecil masih saja mengatakan,”Thanks Dad for helping my position”.
Belakangan akhirnya saya ketahui, bahwa penggalan ayat yang dibaca pada rokaat pertama adalah surat Al-A’raaf ayat 158. Sementara pada rokaat kedua, si kecil mengambil bagian pertama dari surat Al-‘Ankabuut ayat 45. Kok bisa? Karena kebetulan dua ayat itu yang dia pernah baca berulang-ulang ketika belajar tentang rukun Islam. Sialnya…ayahnya ini tidak pernah ikut membaca bareng dengannya. Akhirnya kenalah getahnya…skak mat. Rasain lu sekarang!
Mulai dari hari itu, ada tambahan pertanyaan untuk si kecil sebelum dia menjadi Imam memimpin sholat Maghrib. Saya tanyakan dulu surat apa yang akan dibaca … he… he… he… in case saya belum hafal, saya kantongi Quran kecil di saku untuk contekan dan off course for peaking. Wallohualam (Prahoro Nurtjahyo, Minggu, 16 Mei 2010).
6 comments:
Tulisan yang bagus Mas Pra.. bisa jadi pelajaran bersama nih! Hehe..
motivasi buat anak2 kecil,,cayooo terus artikelnya..
Bagus!!!
I shall afford will disagree with you
Well, and what further?
It certainly is not right
All good things come to those who wait.
Post a Comment