Monday, February 19, 2007

Ketiban Sampur

Pernahkah sampeyan mendengar istilah Ketiban sampur? Istilah ini pernah saya tanyakan ke almarhumah nenek saya ketika saya masih berusia awal belasan tahun. Kalau saya ringkas penjelasan si Mbah Putri saya ini, maka Ketiban Sampur kurang lebih bermakna sama dengan “unexpected task”. Dan pemahaman saya tentang istilah ini menjadi bertambah ketika mondok beberapa bulan di daerah pesisir utara pulau Jawa.

Sampur dalam bahasa yang gampang adalah kain panjang yang mempunyai lebar hanya sekilan (jarak terpanjang antara ibu jari dan kelingking ketika satu telapak tangan kita rentangkan). Kain yang tidak lebar ini biasanya digunakan oleh para penari perempuan dengan diikat dibagian pinggangnya.

Di daerah pesisir utara pulau Jawa, ada kesenian yang namanya Tledek. Dimana pada kesenian ini yang menjadi primadona adalah sang penari perempuan lengkap dengan aksesoris dandanan-nya yang didukung oleh suara gamelan musik Jawa (dengan suara Kendang sebagai mascot-nya). Kelompok ini sangat mobile karena jumlah pemain yang relative sedikit (6-7 orang).

Pada setiap kali pentas, umumnya pada bagian klimaks tarian ini, masing-masing tangan dari si penari memegang masing-masing ujung sampur-nya. Kalau sampeyan pernah bermain jump rope, maka dengan gaya yang sama, si penari akan menarik salah seorang penonton dengan sampur-nya tadi untuk diajak ber-joget bersama. Saya tidak perlu cerita dampak dari tarian ini, yang jelas sama mautnya dengan tarian udel Belly Dancing yang berasal dari Persia sana. Percayalah, sampeyan musti sering-sering menelan air ludah kalau sudah menonton kesenian tledek ini. :-)

Meskipun secara harfiah nenek saya benar bahwa istilah ketiban sampur adalah ”unexpected task”, akan tetapi mbah saya ini sepertinya luput mengamati bahwa ketiban sampur ternyata bukan hanya sekedar task. Besar kemungkinan beliau lupa untuk mengatakan bahwa task yang datang itu sudah mempunyai irama sebelumnya. Kalau sudah begitu, sudah jelas betapa susahnya model task yang seperti ini. 


Coba bayangkan... ketika musik itu sudah berjalan, dan kita tiba-tiba diajak masuk ke dalam irama musik itu, tentunya bukanlah hal yang mudah untuk menggerakan tubuh meskipun hanya sebuah jari tangan untuk mengikuti iramanya. Kecuali kalau saya itu se-level dengan mbakyu Inul Drastistia. Mau musik apa saja dengan goyang ngebor-nya tentu akan dia mainkan. Dengan musik yang panas, pakai gaya ngebor. Musik lembutpun, masih pakai gaya ngebor. Bingung saya dengan mbakyu satu ini. Makanya pantas saja kalau mbak saya yang satu ini dijuluki dengan penari ngebor. Lha wong dengan semua musik gayanya sama, ngebor terus. :-)

Kalau pemahaman yang ada tentang Ketiban Sampur saya angkat pada satu level lebih tinggi, maka Ketiban Sampur adalah salah satu bentuk derivative dari sebuah amanah. Karenanya pemahaman seperti ini dapat berdampak sangat serius dan tentu menakutkan bagi saya. Ketika hari Sabtu kemarin, saya resmi Ketiban Sampur untuk sebuah hajatan di kampung saya, maka dari awal saya harus mengatakan bahwa turunan amanah ini akan saya bawa sebatas yang saya mampu. Jika ternyata amanah ini melebihi dari kemampuan saya sebagai manusia, maka akan saya kembalikan kepada yang memberi amanah. Apa tolok ukurnya? Gampang saja, kalau sampeyan manggut-manggut dengan gendang yang ditabuh oleh penabuh gamelan, maka saya mengartikan sebagai isyarat untuk monggo silahkan diteruskan. Karena pada level itulah, kita semua berada pada posisi yang sama, tidak ada lagi yang ditonton dan tidak ada yang menonton. Bukannya bubar :-) tapi sudah well established.

Musik sudah ditabuh dan iramanya berjalan sejak setahun yang lalu. Permasalahannya adalah saya harus berjoget dengan gaya seperti apa? Nah…inilah tugas sampeyan untuk memberi tahu saya. Kenapa? Iya kalau saya menggoyangnya cocok dengan irama yang sudah berjalan, kalau tidak? Bukan hanya si penabuh gamelannya yang marah kepada saya tetapi juga penonton diluar akan ikut uring-uringan melempar botol ke atas panggung setelah melihat gaya ngebor saya. Tulung tulung aku diuber tledek-e (yang ini sengaja tidak saya terjemahkan… buat homework :-). (Prahoro Nurtjahyo, February 19, 2007)

1 comment:

Anonymous said...

Penonton yang mengerti seni, tentu akan menyerahkan keindahan panggung pada senimannya, silahkan digoyang terus Gus Ro'...
Menarik...& menggelitik.... mengingatkan suasana kampung halaman nun jauh di sana. Konon, di kampung sejati nanti akan lebih banyak lagi tledek yang dimainkan oleh para bidadari. Konon lagi, pancaran kecantikannya melampaui batas getaran fisik.. dan oleh karenanya hanya hati yang terbiasa dengan kelembutan yang akan mampu menikmatinya... wallohu'alam.