Wednesday, August 30, 2006

BUMN dari Kacamata Saya

Saya bukan ekonom dan bukan (atau belum menjadi) pelaku bisnis. Dunia perekonomian yang saya geluti hanya terbatas radiusnya pada tingkat keluarga saja. Analisa ekonomi saya sangat cekak dimana hanya bersandar pada data neraca pembukuan antara angka pengeluaran dan angka pemasukan. Dapat saya pastikan bahwa angka pemasukan hanya bersumber dari gaji, sementara angka pengeluaran bermacam-macam pintunya. Beberapa pintu pengeluaran itu diantaranya adalah cicilan rumah, cicilan membayar loan sekolah selama saya sekolah, sewa mobil, belanja bulanan, biaya bensin, sekolah anak-anak dan masih banyak lagi. Dari ilmu ekonomi yang saya pahami, segala macam pengeluaran itu harus dapat ter-cover oleh pemasukan. Dengan komposisi yang tidak berimbang, dimana sumber pemasukan hanya satu dan pintu pengeluaran banyak sekali, disinilah indahnya bermain-main dengan ilmu ekonomi. Maka kalau anda melihat wajah saya tersenyum, itu adalah sinyal bahwa saldo pemasukan dikurangi pengeluaran masih bernilai positif.

Dalam tahapan untuk mencoba berkontribusi pada ekonomi secara makro dan lebih tinggi lagi tingkatannya (bukan hanya tingkat keluarga), beberapa bulan terakhir, saya dan beberapa kolega di Houston secara marathon mencoba untuk bersinggungan secara fisik dengan beberapa BUMN di Indonesia. Istilah yang kami gunakan adalah “Sudah waktunya kita berjuang dengan tangan”. Artinya tidak ngomong saja, tetapi bagaimana caranya dapat berbuat suatu yang nyata dan dampaknya dapat dirasakan oleh rakyat banyak di tanah air.

Kenapa kok susah-susah mikirin negara? Belum tentu yang dipikirin juga ngerti? Sambil berkelakar, selalu saja alasan kami adalah mencari Noble Prize untuk diri sendiri tentang arti kehidupan. Kemudian mengapa kami memilih BUMN? Ada beberapa alasan. Alasan utamanya adalah bahwa BUMN inilah yang semula diharapkan sebagai salah satu motor pencetak pendapatan negara dan juga lahan yang strategis dalam upaya penyiapan Sumber Daya Manusia Indonesia yang tangguh. Dengan sistem yang baik, tentu harapannya adalah sumber pendapatan pemerintah tidak hanya dari satu sumber saja tetapi banyak sumbernya, salah satunya dari puluhan (ratusan?) BUMN ini. Ya jelas harus banyak sumbernya, lha wong rakyatnya juga banyak. Apakah dengan melakukan ini berarti kami berjiwa Patriotis? Belum tentu. Kalau seorang Patriot diukur berdasarkan nilai perjuangannya yang tanpa pamrih, maka saya jelas tidak termasuk dalam barisan Patriot ini. Saya harus jujur pada diri saya sendiri, karena sepertiga kehidupan saya telah didikte oleh azas kapitalisme dimana segala sesuatu akan menjadi seimbang kalau kita mampu melakukannya secara wajar dan pada tempatnya.
There’s no such a free lunch.

Dengan networking yang kami punya di Houston, akhirnya kami berhasil meyakinkan beberapa investor untuk melirik ke Indonesia. Sudah barang tentu proses ini tidak Sim Salabim Azza Kadabra tiba-tiba datang begitu saja. Tentu Trust itu muncul setelah kami berinteraksi cukup lama dengan industri perminyakan di Houston. Dengan kesempatan bekerja di Houston dan berinteraksi dalam beberapa project untuk Oil dan Gas sangat membantu kami dalam hal mempromosikan kualitas SDM and Infrastruktur yang ada di Indonesia.
Kalau sebelumnya para investor di Houston hanya melirik Singapura atau Malaysia untuk kawasan Asia Tenggara, saat ini ada sinyal mereka mulai mempertimbangkan Indonesia. Sebulan yang lalu, salah seorang investor menghubungi kami tentang kemungkinan membangun Barge Platform di Indonesia. Dari sudut logika manapun dan siapapun akan mengatakan “Ini tentunya pekerjaan yang sangat gampang dan merupakan kesempatan yang bagus”, ibaratnya mau makan tinggal disuapi, karena kita tidak perlu susah-susah mencari investor tetapi si investor sudah datang sendiri dengan membawa uang dan mau mengerjakaannya di Indonesia. Kalau pembaca sepakat dengan kalimat di atas, ternyata tidak demikian halnya yang terjadi di negara kita Indonesia. Kalau pembaca berpikir tentunya bloon sekali orang kita kalau tidak mampu memanfaatkan kesempatan ini, maka itulah kenyataannya. Memang bloon. Ternyata project yang sudah disiapkan di atas mejapun lenyap begitu saja.

Kalau dasar berpikirnya adalah pure bisnis, tentunya kami akan menawarkan project ini ke pihak swasta di Indonesia (bukan ke BUMN, ya toh?). Lha wong perusahaan swasta yang ada juga banyak sekali, ada Bukaka atau Tripatra. Artinya, kita bisa saja bermain, dan kita akan mendapatkan komisi sekian persen dari nilai project yang kami bawa dari Houston ke Indonesia. Pada level ini, ternyata belum sama pemahaman kita tentang big picture membangun bangsa. Atau bisa jadi jalan pikiran seperti ini selalu muncul setiap kali ada orang membawa project ke Indonesia “Ente dapat berapa persen dari Investor” yang pada akhirnya “Bagi-bagi dong…?”

Selama bersinggungan dengan BUMN di Indonesia, satu hal yang sangat memperihatinkan adalah etika dalam berbisnis. Saya tentunya tidak perlu sewot tentang etika bisnis kalau saja BUMN ini milik mbah saya. Mau jungkir balik ya terserah saja, lha wong punya mbah saya sendiri. Lemahnya etika bisnis inilah yang akhirnya memberikan isyarat kepada kita untuk lebih berhati-hati kalau sudah melibatkan dua institusi: BUMN di Indonesia dan institusi lain di luar negeri (US misalnya). Beberapa pengalaman pahit sempat akan merusak Trust (yang selama ini dengan susah payah kami harus mendapatkannya) karena ulah BUMN kita tidak memakai kaidah atau etika dalam berbisnis.

Siapapun tahu bahwa tekanan politik sangat kental dan berpengaruh dalam kehidupan bisnis di Indonesia. Namun demikian, alasan ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk bertindak tidak etis dalam bisnis. Masih saja ada yang namanya tata karma dalam berbisnis. Lho…kenapa kok kaget sekarang? Bukannya sudah hal yang jamak dan sudah berlangsung lama di negara kita? Bukankah sumbangan kemanusiaan untuk Tsunami di Aceh saja, masih harus bayar untuk mengeluarkan kontainernya dari port Belawan Medan? Sudah menyumbang dan si penyumbang ini masih harus membayar biaya untuk mengeluarkan barang sumbangannya dari pelabuhan. Jadi kenapa kok kaget? inilah wajah kita selama ini. Sepertinya kita semua sudah terkena short term memory loss.

Akhirnya, kalau tahun lalu saya memaki habis-habisan cara kerja Laksamana Sukardi (LS) dan mendukung cara berpikir Kwik Kian Gie (KKG) dalam konteks jual-menjual BUMN, maka tahun ini saya menjadi bimbang dan perlu me-review kembali cara berpikir saya sebelumnya. Apa iya BUMN kita ini menjadi motor pencetak uang bagi pendapatan Negara seperti yang diharapkan? Atau malahan sebaliknya, jangan-jangan keberadaan BUMN ini hanya sapi perahan dan merupakan alat legitimasi beberapa kelompok tertentu untuk mendapatkan uang pinjaman dari negara lain karena alasan project. Sungguh sebuah legitimasi yang sakral karena keberadaannya harus disahkan oleh sebuah Undang-Undang Dasar (UUD).

Sudah tiba saatnya saya harus minta maaf ke pak LS karena bisa jadi pak LS ini sakti mandraguna sehingga sudah tahu betul kharakter dari BUMN kita. Mungkin juga, karena terlalu banyak orang Jawa disekitarnya, maka pak LS menjadi sungkan dan tidak tega untuk mengungkapkan dengan kata-kata lugas tentang kondisi BUMN kita yang sebenarnya. Sehingga daripada mempertahankannya lebih untung kalau dijual, jelas pendapatannya dan tidak digunakan bancakan orang per orang.

“Walah Mas… baru segitu saja kok pundung, sakit hati dan nggondok”. Kalau kejadian ini baru pertama kalinya, saya akan terima statement itu bahwa saat ini saya Pundung. Dan tentu tidak perlu ada tulisan ini. Karena kami sudah banyak mencobanya dan selalu berakhir dengan hal-hal yang tidak masuk akal, maka tulisan inipun muncul. Ketika hati sudah dongkol, beruntunglah anda kalau masih punya kolega yang sejalan. Kata-kata dari sahabat saya ini yang membuat saya tidak patah arang (paling tidak sampai sekarang) yaitu “Kita sudah pernah mencobanya. Artinya, telah gugur satu kewajiban kita yang kelak akan ditanya olehNya tentang apa saja yang sudah kamu lakukan untuk hidup ini”. Wallahualam
(Prahoro Nurtjahyo, Rabu Malam, 30 Agustus 2006)

Monday, August 21, 2006

17 Agustusan di Kampung Saya

Hari Sabtu kemarin adalah acara akbar peringatan hari Kemerdekaan RI yang ke 61 tahun di kampung saya. Seperti halnya kampung-kampung yang lain, kampung saya tidak mau ketinggalan. Meskipun jauh dari pusat negeri, untuk menutup semua aktifitas peringatan 17 Agustusan, maka pada hari Sabtu kemarin diadakan bazaar sekalian menutup serangkaian kegiatan dan berakhir pekan bersama masyarakat. Sungguh merupakan pemilihan waktu yang tepat karena besoknya masih hari Minggu sehingga masih sempat untuk istirahat seharian. Terutama bagi mereka-mereka yang masuk dalam jajaran seksi sibuk.

Hanya saja, sialnya, cuaca sejak pagi hari sudah terlihat tidak bersahabat. Mulai subuh sudah terlihat awan mendung berarak menyelimuti kampung kami. Bahkan sempat turun hujan beberapa saat pada pagi hari. Sudah barang tentu ini membuat resah panitia bazaar. Saya datang sedikit terlambat pada acara bazaar ini. Sementara istri dan anak-anak saya sudah datang lebih awal karena anak saya perempuan harus berdandan ala putri Solo pada acara pembukaan.




Dari kejauhan saya melihat pak RT, salah satu tokoh terkemuka di kampung kami. Saya hampiri pak RT dan berbincang sejenak di pelataran tempat bazaar ini diadakan.

”Bagaimana pak RT khabarnya?”, sapa saya.
“Baik ..Mas…”, jawab pak RT.

“Wah sibuk ini ceritanya?”
“Yah begitulah Mas….. saya masih khawatir kalau hujannya turun, soalnya ramalan cuacanya 40% hujan pas malam hari. Wah... lak celaka to Mas kalau begitu?”

“Celaka bagaimana pak RT?”
“Lha iya…wong sudah capek-capek disiapkan selama hampir setengah tahun lho acara ini. Kalau hujan khan artinya acaranya muspro (baca: sia-sia)”

“Iya ya pak…Tapi sekarang mendungnya sudah hilang gitu lho”
“Wah.. Mas… jangan bilang siapa-siapa ya. Untuk mengusir hujan, tadi itu saya sudah telpon ke kantor Pusat sana. Saya bilang kalau kemungkinan besar akan turun hujan. Untung saja mereka punya ahli penolak hujan”

“Wah…hebat tenan kantor Pusat sana ya pak RT?”
“Iya Mas… saya tadi dipandu oleh ahli penolak hujan dari Pusat sana, bahwa saya harus menyiapkan lombok merah yang besar dan diposisikan berdiri menghadap ke langit.”

“Itu artinya apa Pak RT?”
“Artinya…lombok itu khan pedes Mas, dan dengan posisi menantang ke langit artinya menolak semua yang datang dari arah atas. Jadi hujannya tidak akan turun karena takut dengan lombok yang menghadap ke atas itu”

“Tapi sekarang udaranya panas sekali pak RT. Apakah ini artinya lomboknya tadi kebanyakan?”
“Wah saya juga nggak tahu itu Mas”
Karena jumlah pengunjung yang semakin banyak yang datang, kamipun bergeser sambil berpindah tempat untuk mojok. Kami masih meneruskan obrolan kami.

“Wah…. coba kita dulu merdeka bulan Maret atau April..gitu yah.. mungkin suasananya enak ya Mas, anginnya semilir, udaranya sejuk”, terang pak RT.
“Apakah mungkin kita bisa memindah harinya pak RT…. Nanti DPR di Pusat sana mencak-mencak”.

“Oalah Mas… di negeri kita ini apa to yang tidak mungkin? Semuanya yang aneh-aneh itu mungkin Mas”“Nah apakah kita juga harus mengganti Teks Proklamasi yang sudah terlanjur ditanda-tangani tanggal 17 Agustus 1945 itu pak RT?”

“Khan itu bisa di-amandemen-kan to Mas. Jangan underestimate gitu lho, kita ini jago kalau urusan amandemen Mas”“Kalau harinya diganti, apakah artinya anggaran rutin untuk peringatan HUT ini jadi berubah juga pak RT?”

“Wah iya ya Mas. Kok jadi tambah ruwet ya Mas? Ya sudahlah Mas, kalau begitu kita nikmati saja bulan Agustus ini, dengan apapun kondisinya”Saya amin-i saja pendapat pak RT ini dan obrolan kamipun akhirnya terputus karena saya harus ikut antri berebut mencari makanan jenis langka, yang adanya hanya pas acara bazaar 17 Agustusan saja.

Apakah sakral atau tidak, peringatan acara ini tergantung dari masing-masing yang merayakannya. Orang bilang semua itu dikembalikan ke niat awalnya. Ada berbagai macam bentuk cara memperingatinya. Ada yang memakai pakaian merah putih lengkap dengan songkok-nya, ada yang hanya memakai sandal jepit dengan kaos oblong bertuliskan I Love New York, ada yang memakai pakaian daerah dengan segala aksesorisnya, ada rok panjang, rok mini, celana panjang, celana pendek, pokoknya macem-macem modelnya. Dan acara yang padat itupun beragam isinya. Ada acara menari, pencak silat, menyanyi, mulai dari yang “berani” menyanyi sampai yang bener-bener menyanyi. Memang hebat sekali kampung kami ini, ternyata semua bakat yang terpendam dapat dengan beragam keluarnya ketika acara bazaar ini berlangsung dari tahun ke tahun.

Paling tidak, inilah yang baru bisa kami lakukan untuk memperingati hari yang bersejarah ini. Semuanya kembali ke niatan masing-masing dalam mengartikan kemerdekaan yang dilahirkan bulan Agustus ini. Jangan-jangan, e…siapa tahu, suatu saat nanti peringatannya berubah dan menjadi peringatan 17 Maretan atau 17 Aprilan, tetapi masih diniatkan untuk 17 Agustusan. Khan semua itu tergantung dengan niatnya! (Prahoro Nurtjahyo, Senin pagi, 21 Agustus 2006).

Monday, August 07, 2006

Ketika Saya Harus Menjadi Juri

Judul ini saya pilih berkaitan dengan kejadian yang baru saja saya alami di kampung kami. Ceritanya, dua anak saya ikut belajar mengaji di satu-satunya musholla di kampung kami itu. Kalau meminjam istilah dimana dulu saya dilahirkan, maka anak-anak saya bersama anak-anak lain yang sebaya usianya adalah para santri kecil dari pondok pesantren musholla ini. Yang menjadi Ustad adalah beberapa orang yang diangkat oleh para orang-tua yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajar mengaji.

Dari para Ustad ini, tentu ada Kyai-nya. Nah….. beruntunglah kami para orang tua, karena pak Kyai-nya ini masuk dalam madzab kyai modern. Kenapa modern? Pertama, si Kyai tidak perlu membawa rotan untuk memukul santri-nya yang salah bacaannya. Kedua, dari kaca mata saya melihatnya, sistem yang dipakai oleh pondok yang dipimpin pak Kyai ini relative mampu melibatkan hubungan yang mutual antara si anak dan orang tua. Tugas dari para orang-tua adalah untuk mendampingi anak-anaknya selama proses belajar mengajar ini dilakukan. Harapannya, si orang tua juga tahu, bagian mana yang kurang dan yang perlu ditingkatkan. Selain itu, sebenarnya methoda ini merupakan alat yang ampuh untuk me-refresh memori para orang tua tentang bacaan yang selama ini sudah melekat hampir lebih dari seperempat abad kehidupannya. Paling tidak, untuk sisa kehidupan berikutnya akan lebih benar cara dan pemahamannya.


Seperti halnya sekolah-sekolah yang lain, maka sudah menjadi hal yang jamak, untuk mengukur tingkat pemahaman seorang santri, yang harus dilakukan adalah melakukannya dengan menguji seberapa jauh meningkatnya mulai dari pertama masuk sampai tahapan tertentu. Bukan karena ikut-ikutan, tetapi berkeinginan untuk mereview hasil kerja bareng antara para Ustad, Orang tua dan Santri, maka pondok pesantren kecil inipun melakukan ujian semester. Setelah hampir enam bulan ikut mondok, maka tibalah waktunya untuk mengukur seberapa jauh kesaktian para santri ini dapat menyerap pelajaran dan ajian yang telah diberikan oleh pak Kyai.

Kalau hanya urusan test atau ujian, itu tidak ada masalah. Yang menjadi masalah bagi saya pribadi adalah ketika test itu diadakan, yang menjadi juri adalah para orang tua yang anak-anaknya ikut dalam pondok pesantren musholla ini. Wuallah…cilaka ini. Inilah ketakutan alami yang baru pertama kali saya hadapi dalam hidup. Coba sampeyan pikirkan, saya didaulat untuk menjadi juri anak-anak tentang cara ber-wudlu’, sholat, dan membaca doa. Bagaimana saya harus menilai sholat mereka, kalau sholat saya sendiri masih sering terlambat. Bagaimana saya harus menilai berwudlu mereka, kalau saya sendiri masih senang bermain dengan hal-hal yang kotor. Bagaimana saya harus menilai bacaan sholat mereka, kalau saya sendiri masih belepotan cara membacanya.
Berat sekali amanah menjadi juri itu dengan kualitas saya yang masih jauh dan belum mumpuni untuk menilai orang lain (meskipun yang saya juri ini adalah anak-anak kecil). Saya takut dengan nilai dan pertanggungjawaban yang nantinya akan saya berikan. Bukan masalah nilai A atau B, Satisfied atau Unsatisfied, tetapi barometer-nya apa?

Untuk mundur dari dewan juri tentu sudah terlambat dan bukan merupakan solusi yang terbaik, apalagi akan mempengaruhi psychology berpikir anak-anak saya. Dengan segala macam concept dan excuse akhirnya saya beranikan diri maju menjadi juri pada acara test hari Sabtu kemarin. Tentunya dengan bermacam bacaan komat-kamit melekat di bibir saya dan berbekal beberapa catatan kecil. Pertimbangan saya antara lain adalah sistem penilaian ini sangat sangat subyektif. Mengapa? Karena, bagaimana saya harus men-judge dengan nilai B, padahal si Fulan sudah mati-matian untuk berjuang dengan kemampuannya. Untuk yang satu ini, berarti saya sudah dholim dan tidak mengenal yang namanya “menghargai semangat berjuang” dari seorang anak. Sementara itu, karena keseharian saya hanya bergaul dengan anak saya saja, artinya saya tidak mempunyai kewenangan untuk menilai anak-anak orang lain. Karena pada dasarnya, hanya orang-tua masing-masinglah yang tahu seberapa besar effort yang telah dikeluarkan anak-anaknya untuk pelajaran mengaji ini.

Akhirnya saya dihadapkan hanya pada dua pilihan. Pertama, saya hanya akan menilai anak saya sendiri, dan tidak menilai anak-anak yang lain. Kedua, sebaliknya, saya tidak akan menilai anak-anak saya, tetapi akan menjadi juri buat anak-anak yang lain. Dengan berbekal dua option ini, saya berangkat menjadi juri. Maka, kalaulah nilai menjadi penting sekali bagi para santri kecil itu, maka dengan senang hati saya katakan, “Ingin saya memberi nilai A untuk semua anak yang ikut test” asal mereka masih mempunyai semangat berjuang untuk terus belajar lagi. Dan terus terang, saya tidak akan memberikan nilai itu secara obral. Karena pertanggungjawabannya lebih besar ketimbang effect psychology-nya. Ketakutan saya yang lain adalah mislead dengan nilai yang mereka percayai selama ini. Selama ini yang sudah tertanam dibenak mereka adalah nilai merupakan bentuk pengakuan dari sebuah prestasi. Karena nilai inilah maka di lingkungan sekolah mereka terdapat siswa kelompok pintar dan kurang pintar. Mereka paham sekali bahwa grade A is better than B. Ini sebenarnya yang saya takutkan. Ketimbang nilai, kalau saya boleh memilih, saya lebih sreg kalau rapor untuk kategori pondok pesantren berisi ulasan tentang si Fulan dari segi bacaan dan hafalan. Sehingga untuk mereka yang misalnya belum hafal bacaan Tasahudnya, pada rapor mereka terdapat tanda “Perlu dihafalkan lagi bacaan Tasahudnya”. Dan ini akan ditest ulang pada test term berikutnya, untuk review sejauh mana tingkat hafalannya.

Ketika tulisan ini saya sampaikan, saya tidak tahu nilai apa yang akan dikeluarkan oleh pondok pesantren kecil ini. Saya bukan tidak peduli dengan nilai yang akan dikeluarkan, tetapi tolok ukur saya untuk anak-anak ini (khususnya pada level sekarang) adalah mampu melafalkan bacaan Quran dengan benar dan menghafalkannya dengan benar pula. Hanya itulah tolok ukur saya saat ini. Terlalu sederhana? Mungkin. Kenapa? Alasan pertama, karena saat ini, pada level itulah posisi saya masih bertengger (yang notabene adalah juri-nya). Sungguh tidak adil rasanya kalau saya berharap lebih dari itu kepada anak-anak saya. Alasan kedua, saya tahu pasti bahwa kelak anak-anak inilah yang akan menjadi juri dari apa yang pernah kita lakukan kepada mereka. Ya..paling tidak, saya sekarang harus siap-siap agar mereka kelak tidak balas dendam dengan memberi saya nilai D dihadapan-Nya.
(Prahoro Nurtjahyo, 7 Agustus 2006)