Wednesday, March 14, 2007

Pak Kyai dan Saya

Lingkungan masyarakat kita memang beraneka ragam bentuknya dan penuh intrik-intrik religius yang dengan mudah membelokkan sesuatu issue menjadi halal atau haram hanya disebabkan karena faktor suka atau tidak suka. Yep! As easy as that. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Jawa Timur, seorang guru mengaji dapat diidentikan sebagai orang yang mumpuni dalam hal ilmu Santet. Entah dari mana asal muasal pemahaman yang gila seperti ini. Yang jelas, beberapa guru mengaji telah menjadi korban keberingasan masyarakat karena dikira tukang Santet. Hanya dalam waktu sekejap, darah beberapa guru mengaji di sebuah surau tiba-tiba saja menjadi halal untuk dibunuh. Seolah nyawa ini milik mereka-mereka yang berotot saja. Astaghfirullah. Ketika mereka berhadapan dengan hukum buatan manusia dengan garang mereka berteriak, ”Kita khan sedang melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. Pemahaman macam apa pula ini...?

Contoh lain, salah seorang teman yang bekerja di pemda mengaku pusing karena berurusan dengan warga yang menempati lahan kosong milik pemda dengan bangunan semi permanen. Ketika disuruh pindah, mereka-mereka ini dengan gusarnya berkata, ”Lha wong saya tinggal ditanahnya Gusti Alloh kok disuruh pindah. Langkahi dulu mayat saya”. Weleh... weleh… edan tenan… Saya katakan kepada teman saya itu, ”Itulah dinamika suatu dialog dengan mereka-mereka yang level keagamaannya sudah pada tingkat Sufi. Tidak ada lagi fungsi keberadaan Pemda atau pemerintahan, malah membikin repot saja.” :-)

Tentunya banyak faktor yang menjadikan kejadian-kejadian seperti ini tumbuh dengan subur di tengah masyarakat yang meng-claim sebagai masyarakat agamis. Salah satu penyebabnya adalah faktor pendidikan.

Pendidikan formal memang bukan segalanya. Apalagi kalau ditunjang dengan kharakter masyarakat yang Paternalistik seperti masyarakat kita. Kalau memang seorang Kyai, Pendeta atau Romo lebih berpengaruh daripada seorang Bupati atau Gubernur bahkan seorang Presiden pun, mengapa kita tidak memanfaatkan kharismatic dari para Kyai atau Romo saja? Bukankah ini akan jauh lebih mengenai sasaran ketimbang gonta-ganti kurikulum pendidikan setiap kali ganti Menteri P&K.

Masalah yang kemudian muncul adalah ”darimana kita tahu kualitas individual seorang Kyai atau Romo?” Saya tidak tahu pasti kriteria apa yang digunakan untuk memberikan label seseorang dengan sebutan Kyai. Sepanjang yang saya tahu (bisa jadi saya salah mengamatinya), ada seseorang menjadi Kyai sebuah pondok pesantren karena faktor keturunan, ada juga menjadi Kyai karena memang kepandaiannya dalam hal ilmu beragama, ada juga karena kesolehannya, ada juga yang rotate perjanjian kalau tahun ini si A yang jadi pimpinan pondok, maka besok si B seterusnya sampai kembali ke A (he...he...he.. kayak main monopoli saja) atau karena faktor yang lainnya. Karena ada option ”faktor lainnya”, maka jangan heran, kalau suatu saat kelak ada yang memanggil saya Gus Prah atau Gus Ro :-) (Anak-anak saya tertawa ngakak kalau saya cerita tentang yang satu ini).

Maka siapapun dia, saya berasumsi bahwa pada umumnya seorang yang sudah memperoleh sebutan Kyai, sudah sewajarnya berkemampuan dalam urusan agama atau hal-hal yang sifatnya transcendental ke atas. Dan tentunya, akanlah menjadi lebih afdol kalau para Kyai paham tentang ilmu dunia. Sedikit-sedikit bolehlah belajar dan tahu tentang Teori Black Hole, Macro Economic, Bioteknologi, Nanoteknologi, Business International Relationship dan lain-lain. Ilmu Allah ini khan sangat luas, sampai matipun, usia manusia tidak ada yang mampu mengambil habis semua ilmu itu.

Untuk melahirkan pemimpin yang cakap inilah, kita memerlukan dua pendidikan yang parallel, duniawi dan akherati.

Lha bagaimana dengan kita yang belum jelas statusnya ini? Disebut Kyai juga tidak, dibilang penjahat juga tidak mau. Apalagi kalau disebut garong, pasti ogah. Kalau disebut masyarakat biasa? Wah..kok biasa... maunya sich yang sedikit di atas biasa gitu lho, yang deket –deket levelnya dengan pak Ustadz.

Sebelum kearah sana, marilah kita kembali menyesuaikan dengan makom kita masing-masing. Bagi yang tidak cocok menjadi Imam, ya ... janganlah memaksakan diri. Khan tidak harus jadi Imam to? Barisan Makmum-pun banyak level pengabdian dan reward-nya kok. Bisa jadi kita lebih cocok masuk ke dalam barisan Makmum yang posisinya tepat di belakang Imam agak sedikit ke sebelah kanan. Sementara yang seharusnya cocok menjadi Imam, jangan malah ngumpet bersembunyi di shaf (barisan) paling belakang. Ada tanggung jawab moral yang kelak pasti ditanya oleh-Nya “Mengapa kita tidak melakukan sesuatu padahal kita diberi kemampuan untuk berbuat lebih dari hanya sekedar menjadi penonton saja?”.

Surga dan Neraka adalah teman sejati yang selalu ada dan saling berseberangan posisinya. Mempelajari ilmu agama bukan hanya belajar ilmu tentang bagaimana masuk surga dan cara menghindari masuk neraka. Iya to? Lebih dari itu, yaitu mengamalkan konsep Fidunya Khasanah wafil Akhiroti Khasanah.

Maka ketika saya berteriak agar para Kyai itu belajar tentang ilmu dunia, beberapa hari yang lalu saya memperoleh kiriman pesanan dari salah seorang pemimpin pondok di kampung halaman nun jauh di sana yang isinya, ”Ayo mas...sekarang giliran sampeyan untuk belajar mengaji dan agama”....Waduh.... :-) (Prahoro Nurtjahyo, Rabu, 14 Maret 2007)

No comments: