Monday, January 28, 2008

Ketika Saya Harus Memilih

Saya mempercayai salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah usaha dapat dilihat dari hasil akhirnya. Untuk itu, menjadikan sebuah usaha yang berakhir ”Khusnul Khotimah” adalah sebuah kewajiban dan sangat penting bagi kita semua. Namun demikian, (meskipun hasil akhir adalah hal yang penting), kita tidak boleh mengabaikan proses bagaimana menuju pencapaian Khusnul Khotimah tadi. Sangat disayangkan jika prinsip yang dipakai adalah “Pokoknya khan Khusnul Khotimah. Caranya bagaimana, itu bukan masalah”. Jadi kalau dilihat lebih dalam lagi, proses perjalanan menuju tujuan Khusnul Khotimah tadi harus dipastikan “bersih” terlebih dulu dan dijaga agar tidak tercoreng dari noda atau tingkah polah yang tidak semestinya. Iya apa iya? :-)

Tulisan ini saya munculkan sebagai sharing view dimana saya akan me-refleksikan-nya dengan posisi berdiri saya. Dimanapun posisi berdiri sampeyan saat ini, tidak akan mengubah hubungan yang sudah terjalin dengan baik selama ini antara anda dan saya. Paling tidak, dengan tulisan ini anda mendengar dari “mulut” saya sendiri mengapa saya harus memilih jalan ini (bukan dari katanya orang lain).


 
Saat ini saya sedang menikmati sebuah tontonan yang sedang saya nantikan bagaimana “ending”nya dari setting cerita di kampung saya ini. Kondisi sekarang ini saya ibaratkan seperti permainan kartu/gaple/domino, dimana dua pemain sudah menurunkan kartunya. Sementara itu masih ada dua sisi pemain lagi yang belum menurunkan kartunya. Saya sendiri masih belum tahu kartu apa yang dipegang dan siapa yang memegang. Namun demikian, sooner or later yang memegang kartu akan muncul juga lengkap dengan macam kartunya. Mengapa saya begitu yakinnya? Karena yang saya tahu pada setiap permainan kartu, ketika permainan itu berakhir maka semua kartu akan terbuka juga. Iya to? Tinggal di trace ke belakang akan ketemu juga macam kartu dan siapa yang tadi menurunkannya….. :-)


Bersama-sama tidak berarti harus sama

Berbeda pendapat itu rahmat dan memperkaya khasanah berpikir. “O…ada juga yang berpikir seperti si Fulan”. Jadi percayalah, kalau anda dan saya berbeda pendapat hari ini, tidak akan pernah saya melihat anda sebagai seorang kafir, bukan teman saya atau bukan sahabat saya. Justeru dengan perbedaan pendapat itu seharusnya mengasah organ berpikir kita untuk menjadi lebih broadband. Semakin sering berinteraksi, semakin saling mengenal cara berpikir masing-masing sahabat kita.

Hidup di dunia ini hanya sementara. Peran masing-masing orang sudah ditentukan batas akhirnya. Oleh karenanya menjaga sebuah persahabatan bagi saya adalah jauh lebih utama ketimbang memperkokoh kepentingan dunia yang hanya sesaat ini. Kalau anda berbuat kurang elok (menurut paham saya), dan saya diam saja, maka pada saat itulah saya tidak peduli lagi dengan keberlangsungan persahabatan kita. Hanya saja sialnya, ketika saya peduli akan friendship di antara kita, besar kemungkinan metoda yang saya gunakan terlihat tidak cantik atau tidak luwes. Main seruduk brak bruk (katanya). Padahal sudah berulang kali saya berusaha untuk tersenyum, masih saja belum luwes juga :-). Haruskah trade mark yang terlanjur melekat ini saya ubah? I don’t know. Apapun penafsiran trade mark itu, yang saya tahu pasti bahwa saya menganut madzab “What has done is done”. Apa yang sudah selesai hari ini, bagi saya sudah selesai. Besok adalah hari baru dengan tantangan yang baru juga. So I can sleep well every night :-).



Apa dan Mengapa?

Lembaga pendidikan, baik apakah itu formal atau informal, (bagi saya) adalah media yang diperuntukan mentransfer sebuah value/nilai kepada anak-anak yang belajar dalam wadah itu. Bukan hanya anak-anak itu saja yang dituntut untuk belajar, tetapi para orang tua harus mampu memberikan tauladan yang sesuai dengan standard yang diajarkan. Anak-anak bukan hanya dijejali oleh ilmu hafalan atau teori saja, tetapi juga tuntunan dari perilaku orang-orang terdekat disekitarnya.

Sesuatu yang susah dicerna oleh akal sehat dan diluar jangkauan nalar manusia yang normal maka saya kategorikan sebagai sesuatu yang abnormal. Sangat disayangkan terjadinya komunikasi yang tidak professional bahkan dengan cara-cara yang tidak elegan. Misalnya, (satu dari sekian banyak hal) membicarakan sesuatu tanpa melibatkan orang-orang yang terlibat secara langsung. Kok sepertinya bukan seperti itu tuntunan yang di-tular-kan dari nilai-nilai luhur ajaran agama.

Dengan berkaca pada beberapa kejadian, maka muncul empat pertanyaan di dalam benak saya:

Pertama, “Bagaimana saya akan mempercayakan pendidikan agama/moral anak saya, lha kalau yang sebagai Ulil Amri-nya tidak mencerminkan tauladan yang saya harapkan?”

Kedua, “Bukankah dengan berkomunikasi duduk bersama akan menghilangkan prasangka jelek -Suudzon- dan mengetahui apa sih masalah yang sebenarnya? Bukan berdasarkan distorsi sebuah cerita yang bisa jadi tidak jelas motifnya?”

Ketiga, ”Lha kalau Ulul Amri-nya alergi dengan yang namanya kritikan, ya tidak heran kalau anak buahnya manut saja, daripada nanti panjang urusan dibelakangnya. Iya to? Lha iya kalau selesai urusannya hanya satu hari atau dua hari, lha kalau murkanya dibawa berbulan-bulan, bertahun-tahun atau bahkan sampai mati :-) …weleh-weleh… malah membikin bludreg alias darah tinggi. :-(

Lha kalau ada yang tidak mau manut dengan perintah Boss diartikan sebagai golongan yang melawan Ulil Amri, tidak bisa diajak bekerja sama, dan masuk kategori mbalelo, darimana logika pemikiran seperti ini muncul?

Bagaimana kita tahu sebuah policy itu sudah bagus (teori dan pelaksanaannya) kalau tidak pernah diadu dalam bentuk argumentasi? E.. siapa tahu dengan dialog akan menambal lubang atau celah yang dapat disatukan sehingga policy-nya menjadi lebih sempurna. Bukankah begitu seharusnya? Apakah yang namanya Ulil Amri itu memang harus kebal dari kritikan? Kok rasanya bukan seperti itu nilai yang saya peroleh dari orang tua saya dulu :-). Meskipun ayah saya hanya seorang petani, ternyata lebih jagoan dalam menerapkan value kehidupan ini dibandingkan mereka yang berderet gelar dan jabatan strukturalnya.

Keempat, Kalau posisi awal yang ditawarkan adalah tidak sama atau tidak sederajat (masih ada garis pemisah antara top and bottom, atasan dan bawahan, juragan dan buruh, apalagi ndoro dan babu), maka dari awal saya katakan, “bukan dengan pola dan fondasi seperti itu yang saya harapkan dari lembaga pendidikan ini ketika pertama kali didirikan dalam men-trasnfer sebuah value/nilai agama untuk anak anak kita”.

Kalau sudah top-bottom, yang berada pada posisi top selalu akan berkuasa, apalagi dengan adanya fully control, “Pokoknya harus libur. No Question. Period”. Itu artinya sama dengan sistem yang otoriter alias diktator. Pertanyaan saya, “What kind of mutualism we expect from this situation?” Berat bagi saya kalau dituntut harus diam saja dan manut saja ketika tontonan yang diperlihatkan dan kondisi yang ditawarkan bukan win-win situation. Mungkin anda melihat saya sebagai pengikut paham old fashion, kaku (tidak luwes), keras kepala alias kolot dengan prinsip yang saya pegang ini. Tetapi saya masih percaya bahwa ilmu yang barokah akan muncul kalau system yang menunjangnya juga barokah. Bukan dengan media dan atmosfir sistem pendidikan yang mengadopsi dalil “pokoknya anda harus manut”. Well, I will not let my kids learn from an institution that based on that kind of philosophy. That is absurd and insulted.


Transfer Nilai


Saya dan anda tidak tahu sampai usia berapa masih diberikan kesempatan oleh-Nya untuk dapat bernafas. Betapa nikmat Alloh selama ini sudah di-guyur-kan kepada kita semua seperti keran air yang dibuka penuh. Fully open. It is! Nikmat Alloh apa yang belum pernah kita rasakan? makanan? pakaian? tempat tinggal? pengetahuan? Maka dengan sisa kehidupan ini, saya sedang menata kembali posisi berdiri saya untuk berbuat sesuai dengan yang saya yakini “benar” (tidak condong ke kiri atau ke kanan) sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya selama ini. Kalau ternyata memang “pahit rasanya”, that is the risk that I am willing to make. Dengan demikian, beban saya akan ringan dan nafas saya akan lega karena akan lebih mudah (bagi saya) untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan ketika kelak dipertanyakan oleh-Nya.

“Ketergantungan” dari sesama manusia akan saling menguntungkan jika berlandaskan pada falsafah win-win situation dalam konteks Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Betapa prinsip ini yang saya dambakan agar kelak anak-anak kita dapat mewarisinya langsung dari orang tuanya. Lha kalau saya sendiri sebagai orang tuanya sudah kehilangan pegangan falsafah ini, value apalagi yang kira-kira pantas saya wariskan untuk anak-anak saya nanti? Apakah saya masih layak untuk berharap anak-anak saya kelak berani melawan ketergantungannya dari sesama manusia jika kondisi win-lose situation terjadi pada diri mereka? Yang saya sangat takutkan adalah mereka lebih happy walau dijajah prinsip keyakinan-nya asal urusan perutnya tidak terganggu :-(. Naudzubillah.

Ketika kebebasan saya terbeli, masih sanggupkah saya menatap mata mereka dengan berkata, “Anak-ku, kalau kamu yakin itu benar, maka bla…bla…bla”. Tentu dalam hati, mereka akan mengejek “Weleh Ayah ini nge- gombal saja. Mbelgedes“ :-( Message macam apa yang saya tauladankan kepada anak-anak kalau ternyata saya sendiri impotent?

Bagaimana saya dapat mengajarkan sebuah value, kalau sementara saya sendiri ternyata masih berperilaku seperti bunglon? “Kadang warna merah, kadang warna hijau, tergantung tempat dimana saya menempel. Kalau lebih aman berwarna hijau, jadilah hijau semua warna kepala, mata, hati, dan mulut saya.” Haruskah saya berperilaku seperti itu? Tidak adakah option lain yang harus saya pilih? I am where I am. Disinilah saya berdiri dengan prinsip yang saya yakini.

Akhirulkalam, semua rentetan peristiwa yang kita alami adalah goresan pena Illahi yang tintanya sudah mengering lama sebelum makhluk yang bernama manusia ini dilahirkan dimuka bumi. Maka saya sangat percaya bahwa semua ini sudah dituliskan oleh-Nya dan merupakan pilihan terbaik yang telah diberikan oleh-Nya untuk kita semua. Tidak ada untungnya untuk rebutan balung tanpo isi (butuh terjemahan? Silahkan tanya yang bisa berbahasa Jawa :-)). Lha wong sudah digariskan lho, kok ngotot :-). Wallahualam (Prahoro Nurtjahyo, Senin, 28 Januari, 2008)

No comments: