Thursday, February 28, 2008

Jangan Pelorot Celana Anak Saya

Satu kali peringatan dari sekolah ternyata belum juga membuat anak saya yang paling bontot, saat ini masih duduk di kelas TK nol besar, menjadi jera.

Pulang dari sekolah pukul 4 sore, anak saya bungsu ini berlari sambil mewek alias menangis. Ketika ditanya ”mengapa menangis?” oleh ibu-nya, dia mengatakan bahwa behavior card untuk hari itu memperoleh warna kuning. [Sekolah mengeluarkan laporan siswa setiap hari tentang behavior siswa selama di sekolah melalui representative warna. Hijau berarti good, kuning artinya warning, merah indikasi dari alert, dan seterusnya].

Dengan warna kuning pada behavior card hari itu, anak bontot saya sudah kalang kabut. Bukan disebabkan karena warnanya dia menjadi kalang kabut, tetapi dia sudah paham sekali bahwa dua jam lagi (pukul 6), ayahnya akan pulang dari kantor. Akan menjadi bencana besar bagi dirinya kalau tidak bisa menjawab pertanyaan selidik dari ayahnya. Dia berpikir keras untuk mencari argumentasi yang make sense untuk meredam amarah ayahnya yang sudah pasti pertanyaan pertamanya adalah ”How could that happen?”

Pada hari itu, pukul enam lebih sedikit saya sampai rumah. Hanya anak saya perempuan yang menyambut di depan pintu rumah. Anak saya mbarep (baca: sulung) masih belum pulang dari latihan gitar. Sementara anak saya yang bontot lari ngumpet belum keluar dari tempat persembunyiannya. :-(

Seperti biasa, saya dan istri melakukan screening check tas sekolah dan kontan saya berteriak memanggil si bungsu setelah melihat warning dari sekolah yang isinya seperti ini, “YOUR SON WAS PLAYING IN THE BATHROOM”.

Datang dengan pelan-pelan dia mendekati saya. Sudah tahu pasti akan dimakan sama Buto (baca: raksasa pemakan manusia), sepertinya dia pasrah saja. Belum sempat saya ngomong lebih jauh, dia sudah mbrebes mili (baca: berderai air mata). Sambil terisak dia memulai gerakan defensive-nya, “My friend pulled my pants down”. Karena malu (akibat celananya di-plorot) oleh temannya, daripada balik ke kelas lebih baik mainan di kamar mandi sekolah. Begitu kurang lebih pengertian saya dalam membaca jalan logika berpikir si bungsu. Waduh cilaka ini. Ngapain sih pakai plorot-plorotan celana segala. Memangnya nggak ada jenis mainan yang lain :-) .

Masih dengan penasaran saya katakan, “I will come to your school tomorrow”.

Anak perempuan saya yang dari tadi diam akhirnya ikut menyela, “Well… Dad, I do not think that’s necessary. Besides, if this is really important, his teacher will let me know too since I am also in the same school.” Ada benarnya juga anak saya wedok ini. Sayapun akhirnya mengalah mengikuti usul anak saya perempuan itu. Akhirnya, saya dudukan si ragil di atas meja makan dan sambil menatap kedua matanya yang masih sembab karena menangis, saya katakan, ”Listen to me very well and carefully. Do not do just because to respond what others have done to you. Do it only if you think that is the right thing to do”. Kemudian saya turunkan kembali dia dari atas meja makan dan saya menganggap masalahnya sudah selesai malam itu.

Ealah... belum sempat bernafas plong, baru dua hari setelah kejadian “kamar mandi” berselang, datang lagi warning dari sekolah melalui behavior card yang serupa. Sekarang isinya lebih serem lagi, “YOUR SON WAS POKING HIS FRIEND”. Aduhhhh… apalagi ini. Jangan-jangan khotbah saya malam itu di meja makan diartikan lain oleh si bungsu. :-) Jangan-jangan yang di poking adalah anak yang kemarin mlorot celananya itu. Jangan-jangan sambil “poking” temannya itu dia berkata dengan bangga, “Well dad, this is the right thing to do. You should proud of me now”. Jangan-jangan…. :-(

Ketika tulisan ini di-release, saya masih belum tahu pasti duduk perkaranya. Yang jelas, semenjak kejadian “poking” itu, pada setiap malam ada tambahan doa baru (versi saya tentunya :-) ) yang perlu saya sisipkan pada lampiran doa dzikir yang isinya kurang lebih sebagai berikut, “Ya Alloh, kuatkanlah pendirian hati anak-anak kami, mudahkanlah penerangan pada hati mereka, berikanlah kekuatan kepada mereka hanya meniru tingkah laku dari orang tua-nya yang baik-baik saja, sementara polah dari orang tua-nya yang amburadul tidak meracuni kepolosan jalan berpikir mereka.” Amin. :-) (Prahoro Nurtjahyo, Kamis, 28 Pebruari, 2008)

2 comments:

Anonymous said...

Asik tenan ceritamu, Ro.

Asiknya menjadi lebih berlipat-lipat karena aku membacanya dengan sepenuh
imajinasi. Bagaimana diksi dan intonasimu ketika ngomong. Bagaimana
gesture dan bahasa tubuhmu ikut ambil peran dalam menyampaikan konten.
etc. etc.

Seolah kejadiannya menjadi seperti ini: Awakmu ngajak dolan anak bojomu
nang K-202 suite, dan untuk kesalahan yang saya tak tahu, anakmu koen
lungguhne di papan tulis ijo depan pintu koboi, awakmu berjongkok di
depannya tutur-tutur. Sementara aku, tri adi anto, hadi sukarsono, badrus,
Dira, Heni, Tita, Basuki cilik, khoirin dll ngruntel di seputarmu,
terkesima menyimaknya.

Dungo dinungo, Ro, mugo2 anak2e ndhewek dadi anak sholeh-sholihah
sing apik2 ae soko bapak-e sing dicontoh.....
sing elek2 biarlah melapuk meluruh menjadi pupuk bagi mereka....

--
Lek Dar
Matematika
ITS

ahage said...

pancene tenan lah pokoke, ternyata ngurus anak ora gampang. Opo meneh dalam kondisi kesel teko mulih kerjo dan ono laporan kalo anak bikin ulah. Mung pancen kudu di rem tenan ati iki ben ora dadi lan panase trus kalut nang anak.

Btw, tulisan sampeyan memang mantap membuat yang membaca bisa ikut hanyut dalam jalannya cerita sing sampeyan paparkan.

Tulungono aku ben isok belajar nulis koyok sampeyan cak, paling tidak aku juga bikin blog di ahgidaman.blogspot.com mbok menawi sampeyan kerso mampir.

Ugi kagem Lek Dar, dimana aku bisa membaca tulisan-tulisan sampeyan?

suwun -hendra matematika '90-