Monday, April 08, 2013

Sleepless in Forest

Kalau saya katakan tidur di tenda itu comfy atau physically peaceful, artinya saya berbohong pada diri sendiri. Tidur di hutan itu, jauh dari yang namanya nyenyak. Maka, kalau ukuran sampeyan ikut camping HANYA karena kriteria tidurnya nanti enak atau tidak, maka sampai kapanpun, saya jamin bahwa sampeyan tidak akan pernah ikutan camping.

Paling tidak, saya menemukan tiga (3) alasan mengapa tidur pada saat camping menjadi tidak nyenyak, tidak peduli seberapa-pun besar ukuran airbed-nya atau seberapa-pun tebal lapisan selimut-nya.

Alasan pertama, kurang memahami konsep pengorbanan. Ketika akan memulai tidur, saya selalu mencoba untuk membuat kompromi dengan badan ini, bagian mana yang akan saya jadikan ”korban” malam ini: punggung-kah, lengan sebelah kanan-kah, atau lengan sebelah kiri. Mengapa? kasur kempes adalah the most you can expect from camping. Sehingga punggung atau lengan ini akan directly contact with the ground alias mengikuti lekuk gundukan tanah. Belum lagi, kalau si bungsu dalam tidurnya sudah mulai pencak silat, mengambil alih semua region dari kasur. Tanpa saya sadari, seharian saya tidur di atas tanah, diselimuti oleh airbed, dan anak bungsu saya berada pada posisi paling atas. Jadi kalau sampeyan lihat, persis seperti sandwitch airbed yang diapit oleh dua orang. Lha modar kalau seharian begini. Iya to?

Alasan kedua, kalau sampeyan berharap mendengar suara lolongan anjing hutan atau srigala di malam hari, it will not happen. Suara khas malam hari di hutan seperti itu, hanya sampeyan temui di movie-movie horror. Why? karena suara hutan di malam hari kalah oleh suara dengkuran alias ngorok dari satu tenda ke tenda yang lain. Nah sial-nya, suara ini semakin malam semakin kenceng dan semakin bersahutan persis seperti kelompok paduan suara tingkat kecamatan yang fals suaranya. Dan, kalau sampeyan mempunyai kuping yang masih normal, waras alias tidak budeg, saya pastikan mata sampeyan akan kethap-kethip sendiri sambil menunggu Adzan Subuh tiba. Iya apa iya?


Yang ketiga, nah ini yang dari dulu sampai sekarang, saya mungkin satu dari sekian banyak orang yang agak kurang sreg kalau harus tidur dalam satu ruangan dengan orang lain. Bukan masalah apa-apa, hanya karena satu hal saja, kekurang-bebasan untuk buang angin alias kentut. Coba sampeyan bayangkan, perut kembung setiap camping adalah hal yang 90% wajar. Maklum, hampir semua makanan dan minuman yang masuk perut adalah jenis yang instant, yang cukup berkontribusi untuk membuat perut kembung. Jadi serba salah dong? Memang iya. Kalau kentut itu nggak di keluarin, nanti perutnya mules. Kalau harus jalan ke WC umum, sudah dipastikan jalan-nya jauh dan iya kalau sekali, kalau berkali-kali? Sebaliknya, kalau kentut itu dikeluarkan, sampeyan sudah tahu apa resikonya. Bunyi nya sih bisa diatur modelnya (mau Soprano ..tiiittt, atau Bariton...duuott ), tapi effect-nya bisa membikin seluruh isi tenda semburat keluar. Kalaupun toh ... sampeyan ”paksa” terus berada di dalam tenda yang penuh dengan bau kentut itu, saya pastikan kepala sampeyan akan pening. Kalau tidak tahan, bisa-bisa klenger alias teler adalah the worst possible happen.

Kalau memang iya, tidur (menurut sampeyan) adalah hal yang sangat utama, maka untuk next camping, persiapkan, alat tutup telinga dan berdoa (ini kalau sampeyan berani lho ya...) untuk mendapat rizki “sakit pilek”. Tambahan lagi, persiapkan diri sampeyan untuk ikut latihan wrestling alias gulat, siapa tahu kalau ditendang dari kasur, posisi sampeyan masih tetap terjaga. Wallohualam. (Prahoro Nurtjahyo, Senin 8 April 2013)



2 comments:

Anonymous said...

Lucu banget cerita sampeyan mas.. Membuat saya kepingkel pingkel.. Biasanya orang camping di Indo daerahnya agak di pegunungan atau paling nggak ya bukitlah jadi udah capek naik turun. Malamnya pasti tidur nyenyak. Lha kok sampeyan sempat kethap kethip ndengerin orang ngorok.. Salam dari Jogja..

Anonymous said...

Aseli lucu mas... Sambil ketawa cekikikan di ruang kntr. Midland, TX.