Terkadang
nikmat itu datangnya bertubi-tubi dan kebablasan. Adalah tugas kita untuk
membendungnya. Kalau tidak, maka besar kemungkinan kita akan overwhelm dengan kenikmatan itu dan
akhirnya lupa. Kita lupa kalau ternyata yang namanya “nikmat”-pun sebenarnya
adalah bagian ujian dari-Nya. Iya to?
Tidak
terasa, sudah seminggu ini saya lewati kenikmatan dua malam di hutan itu. Kalau dalam tulisan ini sampeyan tidak merasakan adanya “penyesalan”,
karena memang itulah yang sedang saya rasakan. Apapun kesan sampeyan tentang acara dua malam itu,
bukanlah sesuatu yang penting bagi saya. Kenapa?
Karena kalau saya melihat sampeyan bisa tersenyum, that is enough. Itu sudah cukup membuat saya untuk ikut tersenyum juga.
Dan saya
yakinkan kepada sampeyan, ketika saya
menulis di celometan ini, saya tersenyum
untuk sampeyan semua karena
kenikmatan yang sedang saya rasakan.
Paling
tidak, saya menemukan tiga kenikmatan selama dua malam itu. Kenikmatan yang pertama adalah sharing. Ketika kami sampai di lokasi campsite, as predicted, malam datang bersamaan dengan kedatangan
kami. Meskipun jauh dari
awal saya sudah coba untuk meng-antisipasi-nya, toh “keributan sharing”
itu tetap terjadi. Malam itu, saya benar-benar merasakan nikmat “Kalah Tanpo Wirang” (Baca: Kalah tanpa harus malu). Sudah lama saya tidak paham dengan falsafah Jawa yang satu ini, tetapi
malam itu, saya benar-benar tahu apa makna dari filsafat itu.