Friday, April 22, 2011

Mengukur Niat untuk 3 Hal

Saya haqqul yakin bahwa hafalan saya untuk surat pendek di Juz’amma, jauh lebih sedikit ketimbang hafalan dari sampeyan-sampeyan semua. Apalagi, kalau hafalan itu harus ditambah lagi dengan syarat Makhraj yang benar, maka urutan berdiri saya pun akan mundur lagi ke belakang dari posisi berdiri sampeyan saat ini.  Karena itulah, saya harus ngoyo (baca: memaksakan diri) mengejar ketertinggalan dan mencoba mendekati makom sampeyan saat ini. Boleh to? :-)

Dengan ber-modal pengetahuan yang pas-pasan, tentunya tingkat pemahaman saya pun menjadi pas-pasan juga. Kalau yang serba pas-pasan ini terus di’maintain”, maka akhirnya yang ter-implementasi-kan dalam hidup ini tidak akan jauh dari yang namanya "asal saja". Asal hidup, asal makan, asal kerja, asal-asalan.  Wajar khan? The output is depending on the input.

Karena alasan inilah, saya mencoba untuk share dengan sampeyan di blog ini. (Setelah cukup lama blog Celometan ini terhenti karena ulah juragan Koran "edan" Ha... ha... ha… sorry pak Boss kalau sempat baca… :-).

Saya lebih sreg mengartikan Kalamulloh (baik yang tersurat maupun yang tersirat) dengan tindakan yang tangible. Mengapa? Saya meyakini bahwa agama bukan sesuatu yang abstrak yang hanya dapat disentuh nilai rasanya oleh para Rosul saja, Nabi saja, ataupun para Kyai saja. Agama bukan dominasi para Ustadz, Pendeta, Bhiksu, Santri bersarung-berpeci, para Muadzin, para Qori/Qoriah atau para Takmir masjid saja.

Coba sampeyan bayangkan, kalau belajar agama di-identik-kan dengan belajar sholat dan mengaji (misalnya), wah ... khan bisa repot kalau begini. Agama menjadi sesuatu yang eksklusif dan terbatas karena ulah manusia sendiri. Lha memangnya Islam itu isinya hanya sholat, dzikir, puasa dan mengaji Al-Quran saja?

Karenanya, saya berusaha untuk berpedoman kepada dua pokok pemahaman dalam perjalanan hidup ini.

Pemahaman yang pertama. Kehidupan sampeyan dan saya mempunyai batas bawah dan batas atas. Batas bawah adalah ketika kita lahir ceprot, sementara batas akhir adalah ketika nafas sudah sampai kerongkongan. 

Terhitung dari sampeyan baca tulisan ini, saya pastikan, 100 tahun yang lalu, tingkah laku sampeyan dan saya belum dimasukan dalam hitungan dosa dan pahala. Lha wong belum lahir :-). Saya pastikan lagi, 100 tahun ke depan, sampeyan dan saya sudah tidak ada lagi nafasnya. Bukan untuk mendahului takdir atau mencoba meramal, tetapi memang beitulah sunatulloh. Iya khan?

Artinya, hanya dalam kurun waktu inilah kita (sampeyan dan saya) diberi kesempatan untuk berbuat sesuatu. Kalau sampeyan saat ini sudah memasuki usia 40 tahun ke atas, maka lampu kuning sudah mulai menyala dan bersiap-siaplah sebelum lampu merah benar-benar menyala. Kesempatan yang ada mulai berkurang dibandingkan ketika kita berusia 25-30 tahun. Meskupun hanya berdasarkan statistik saja.

Pemahaman yang kedua.  Telah dicatat dalam Kalamulloh dan diberitakan oleh rosul-Nya bahwa ada investment yang kelangengannya dijamin melebihi usia manusia itu sendiri. Disebutkan oleh Kanjeng Nabi bahwa akan terus menemani kita karena tiga hal: Ilmu yang bermanfaat yang pernah kita tularkan kepada orang lain, Doa dari anak-anak kita yang sholeh, dan harta yang dibelanjakan di Jalan Alloh.

Sudah barang tentu, Kanjeng Nabi tidak memberikan wejangan ini kepada para Sahabat dengan asal njeplak saja. Iya to? Ya mosok sebagai kekasih Gusti Alloh, dimana Jibril selalu mengawasinya, keabsahan dari hadist ini masih ada yang mempertanyakannya lagi. Lak kebangeten tenan. 

Berbekal kepada dua pemahaman itu, segala effort yang barkaitan dengan tiga kelanggenan (Ilmu, anak dan harta) adalah bentuk investment yang harus dijadikan prioritas utama.


Dengan kesempatan yang terbatas (karena nafas bisa berhenti kapan dan dimana saja), maka yang kita inginkan adalah sebuah effort yang tangible sehingga apa yang kita lakukan menjadi tidak sia-sia. Menata kembali niat dan bentuk pelaksaaan dari niat akan mudah terdeteksi dalam gerak laku apakah kita serius melakukannya atau hanya sekedar gugur kewajiban alias asal-asalan saja.

Dalam skala kecil, kalau sampeyan datang setiap hari Sabtu di Masjid, maka niatkan untuk tiga hal tersebut: belajar dan share ilmu, mempersiapkan anak yang kelak doanya untuk kita orang tua (sesudah mati), dan jangan lupa mengisi kencleng infaq untuk Masjid :-).



Dalam skala yang lebih besar, sampeyan dapat melakukannya untuk apa saja. Toh Islam tidak melulu berurusan dengan Masjid saja, Ilmu tidak hanya berkaitan dengan Makhraj bacaan yang benar dan harta di jalan Alloh tidak terbatas hanya mengisi kencleng Masjid saja. Iya to?

Intinya khan mencoba menambah modal yang serba pas-pasan tadi menjadi lebih dari sekedar pas-pasan. Ada tambahan sedikit yang nanti dapat membantu kita berargumentasi ketika dalam pengadilan Maghsyar. Insha Alloh. Kalau masih bermodal pas-pasan, kemudian masih ngotot untuk mendapatkan hasil yang banyaknya seabreg, itu artinya sudah menyalahi sunatulloh. Itu identik dengan merampok dan mendholimi hak orang lain. Iya to?

Manusia ini khan yang di-mau-i adalah yang enak-enak saja. Hidup enak di dunia, matinya adem ayem tidak ada kesakitan, dan nanti pada hari pembalasan masuk ke Surga. Enak tenan. Iya to?


Seperti halnya sampeyan, saya berkeyakinan, bahwa sesuatu yang hukumnya wajib dari Alloh, artinya Alloh sendiri-lah yang nanti akan menuntun kita untuk menjadikannya terlaksana. Kun Faya Kun adalah rumus tentang keMAHAan Gusti Alloh ini. Wallohuallam biswoab. (Prahoro Nurtjahyo, April 22, 2011)

No comments: