Tulisan ini berkaitan dengan subject bahasan belajar bahasa Arab. Agak panjang memang. Namun demikian, ijinkan saya untuk mengajak sampeyan semua sedikit berbelok sebentar ke cerita yang lain sebelum meneruskan perjalanan cerita tentang bahasa Arab ini.
Perlu saya garis bawahi, bahwa tema tulisan ini masuk dalam platform “tarbiyah praktis”, bukan dalam konteks “theologies praktis”. Sudah barang tentu, dua term baru ini lahir dari istilah saya sendiri :-) (tidak ada basis scientific-nya). Istilah itu perlu saya sampaikan diawal tulisan ini, sebelum ada cap jempol melayang ke jidat saya dengan stempel bertuliskan “Murtad”. Nanti lari semua nggak ada yang ngaji lagi hari Sabtu….he... he…he
Karena tema-nya lumayan berat, jadi mohon hati-hati dalam membacanya. Alert is on :-)
Dalam tataran teologis praktis, jangankan tahu artinya, mendengarkan orang membaca Al-Quran saja sudah mendapat pahala, lha apalagi ini yang membacakan Al-Quran. Tentu akan bertumpuk-tumpuk pahalanya. Iya to? Untuk yang satu ini, saya tidak akan menyangkalnya, karena riwayat Kanjeng Nabi tentang hal ini terekam dalam Hadist yang sohih. Dijamin dah….
Saya lebih tertarik menuliskan tema “kelas bahasa Arab” ini dari segi “Tarbiyah praktis” karena dua alasan. Yang pertama, saya bukan ahli Fiqih, dimana semua tetek bengek dijelaskan secara runut aturan dan hukumnya. Bukan berarti saya anti dengan ilmu Fiqih, tetapi maaf, memang sering saya nggak mudeng dengan apa yang dibicarakan kalau sudah detail. Alasan yang kedua, saya masih berkeyakinan bahwa Islam bukan identik dengan sholat, puasa, zakat dan haji saja. Lebih jauh dari itu, saya berkeyakinan bahwa setiap anak cucu Adam yang mempunyai otak normal sudah sewajarnya untuk melatih otaknya dengan selalu men-challenge, “ada apa dibalik ini Alloh memberikannya kepada kita”. Bottom line, I do believe that there is always a reason for every unanswered question.
Kira-kira setahun yang lalu menjelang musim Summer, saya sempat bersinggungan dengan salah satu pengurus lembaga bimbingan belajar franchise yang cukup terkenal di kampung ini. Bidang keahlian yang dimiliki oleh lembaga ini sangat piawai dalam menguasai 3 sektor utama untuk material di Public School, yaitu: Mathematics, Reading dan Writing. Dengan memakai root budaya timur, menurut saya, metoda yang dipakai oleh lembaga ini sangat sesuai dengan kita-kita yang datang dari Indonesia, Malaysia atau Singapore.
Motto yang dipakai oleh lembaga ini pun sangat unique dan sering tanpa sengaja saya hanyut terbawa dan turut mengaplikasikan-nya untuk anak-anak di rumah, bahkan untuk teman-teman di kantor (terkadang juga ketika “bermain” dengan IFA :-). Motto-nya sebenarnya lugas saja yaitu “Do it fast and precise”. Sederhana khan? Bagi saya, yang menarik bukan lugas-nya, tetapi kerangka dasar pembentukan motto-ini. Bukankah sesuatu yang Fast itu biasa-nya berakhir pada Careless. Iya nggak? Demikian juga, bukankah sesuatu yang Precise itu umum-nya akan Take Time. Iya khan?
Setelah beberapa lama diskusi, akhirnya kami share pengalaman, terutama bagaimana cara memonitor perkembangan siswa di tempat dia mengajar. Setelah klop bahasan dan tema-nya, akhirnya mengerucutlah diskusi itu sehingga terfokus pada subject Reading. Dari sanalah, saya perkenalkan tentang metoda membaca Al-Quran dengan metoda IQRA dan bagaimana program ini di setup untuk jangka waktu 6 bulan.
Dengan gaya ndeso alias ndesit, saya katakan ke orang ini dengan yakin-nya, “Give me your commitment in 6 months, our program can change you from know nothing Arabic letter into knowing how to read Al-Quran”. (Oiya BTW, si pengurus ini seorang wanita bule setengah baya usia between 25-35 years dan suangat cantik alias ayu pol he..he..he.. So you know it now)
Saya yakin dia tidak tahu apa itu IQRA, dan bahkan saya juga sangsikan apakah dia tahu atau pernah belajar tentang Al-Quran. Kalau-pun tahu, saya yakin di benak dia, huruf Arab itu identik dengan ilustrasi cacing melungker yang pasti ruwet untuk dibaca. Dah yakin itu.
Seperti kebanyakan typical wanita bule yang responsive, masih dengan seksama dia memperhatikan uraian saya, kemudian bertanya, ”Well… you said in 6 months I will be able reading Al-Quran with basic knowledge?”
Saya jawab dengan yakin, “Yes, Mam”
Kemudian dia teruskan lagi pertanyaannya, “Do I still need English translation to know what I read”
Saya jawab sekali lagi, “Yes, Mam”
Kemudian dengan duduk mundur bersandar dan menyilangkan kedua tangan di atas dada, dia memberikan response, “What is the point knowing how to read Al-Quran, if I still do not understand what I read”.
Sebuah response spectrum yang sangat-sangat datar dari si mbak bule ayu ini, yang justeru mampu memporak-porandakan gelombang spectrum yang saya kirim sebelumnya. Dari dua spectrum ini, akhirnya mampu menggeser posisi frequensi saya sehingga duduk kembali dan berpikir, “Indeed, that is what I am doing it so far. Every single word I read from Al-Quran yet I still have no clue what it means.”
If that is true (which I believe it is), then it is obvious the following question will be, “Was I wasting my time by doing it?” (Keep in mind, our discussion is not on theology, but rather than tarbiyah point-of view. Thank you)
Sampeyan dan saya tentu mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menjawab pertanyaan di atas. Sampeyan boleh tidak setuju dengan tulisan berikut ini, tetapi berangkat dari sisi inilah saya ingin share my view dengan sampeyan tentang kerangka logikanya:
Pertama. Apapun alasan yang akan kita kemukakan, semuanya adalah bentuk pembenaran dari apa yang kita pilih/lakukan. Which is ok dan itulah sifat dasar manusia yang selalu ingin menang sendiri. Iya khan? Jadi jangan sungkan untuk bilang tidak atau iya… karena semuanya sama di mata Alloh. Yang membedakan hanya ketulusan sampeyan dan saya dalam menjalankan rutinitas ibadah ini. Iya to? Saya tidak tahu apa isi hati sampeyan dan demikian juga sebaliknya.
Kedua. Alloh sudah mengangkat derajat kita pada level tinggi dimana kita saat ini berada. Saya ambil contoh, kita saat ini diberikan rohmah kesehatan yang prima, hidup bergelimang makanan enak, pakaian tinggal pilih, perhiasan tinggal pakai, rumah lebih dari satu, mobil sejumlah anggota keluarga, anak yang sehat dan chubby, menantu yang baik dan mengerti kemauan mertuanya, dan lain-lain. You name it.
Kita dimanja oleh Alloh bukan hanya dengan urusan yang bersifat material saja, bahkan untuk urusan otak pun kita diperlancar semuanya. Alhamdulillah encer dan thok cer. Coba sampeyan bayangkan, kalau sebelumnya kita sama sekali nggak ngeh huruf Arab, maka dengan ijin Alloh kita diberi kemudahan otak untuk mampu menyerapnya. Kalau dulu kita masih tertatih-tatih dengan IQRA, maka sekarang sudah mulai masuk ke Al-Quran dengan bacaan yang sesuai aturan Tajwid.
Sudah barang tentu dan saya yakin, sampeyan dan saya tidak ingin berhenti pada Pos dimana cukup dengan pengetahuan bacaan Al-Quran dengan Tajwid. Iya to?
Untuk membaca Al-Quran, level yang akan kita kejar bersama-sama tentunya adalah tahu arti dari apa yang kita baca. Aneh khan rasanya, membaca kok tidak tahu artinya. Dulu mungkin demand-nya cukup hanya sampai membaca yang benar. Mungkin setelah level itu terpenuhi sekarang, maka tidak ada yang aneh jika ada tantangan baru yang harus diselesaikan.
Perubahan strata ekonomi yang positif pada sebuah keluarga, sangat menentukan perilaku dari anggota keluarga itu sendiri. Itulah harga yang harus dibayar oleh sebuah masyarakat ketika tuntutan ekonomi bergesar dari kebutuhan primer menuju kebutuhan sekunder bahkan tersier. Konsekuensi yang logis to?
Kalau konsep yang sama kita terapkan untuk belajar ”ilmu yang bermanfaat”, memang benar apa yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi bahwa belajarlah mulai dari ayunan sampai nanti masuk ke liang lahat. Meaning? Ada perubahan strata pencapaian pengetahuan juga dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Sehingga kita tidak stuck hanya dengan ilmu yang itu-itu saja. That’s my point.
Ketiga. Benar bin Betul, bahasa Arab bukan pada urutan bahasa ketiga atau keempat kita. Jauh mundur ke urutan belakang. Kalau bahasa ibu saya (first language) adalah bahasa Jawa, maka my second language is Indonesia. English bisa jadi my forth or fifth language setelah bahasa Sunda dan Madura. Belum lagi setelah lama ber”kencan” dengan teman-teman dari Padang dan kena krupuk jangek... lidah ini bisa keseleo juga bahasa ambo nan jauh di mato sana. :-)
Lha wong saya ini bahasa Kromo Inggil Jawa saja sudah banyak yang hilang dari ingatan, apalagi sekarang ini disisipi belajar bahasa baru yang aturan Grammar-nya totally berbeda sama sekali. Tambah Mumet…
Kalau memang yang menjadi kendala adalah metoda pengajaran-nya, ya mari kita cari solusinya. Bukan sesuatu yang susah untuk ditemukan solusinya kalau kita tahu apa source permasalahannya. Karena untuk kita yang otak ini sudah lelet untuk menerima bahasa baru, memang perlu bridge (jembatan) yang dapat mengerti bahasa gaul kita sehingga kita tidak perlu transfer bahasa sebanyak tiga-empat kali.
Coba bayangin, bahasa Arab di translate dulu ke bahasa Inggris, kemudian ke bahasa Indonesia dan akhirnya ke bahasa ibu kita (Jawa, Madura, Sunda, Padang, Batak, dll). Itu baru dari satu sinyal… belum termasuk sinyal baliknya. Tambah pusing.
Bahwa ilmu bahasa Arab ini berat, iya saya setuju. Namun demikian jangan sampai karena berat ini sehingga kita coret dari to-do-list pencapaian ilmu yang bermanfaat selama hidup ini.
Keempat. Salah satu kelemahan kita dalam belajar Al-Quran adalah referensi. Sudah berapa kali kita gonta-ganti buku hanya karena merasa tidak sreg dengan gaya tulisan penulisnya.
Literature berbahasa Arab jumlahnya nggak ketulungan karena saking buannyaaknya. Sialnya, yang masuk di dalam almari buku kita adalah semuanya versi terjemahan. Karena terjemahan, maka sudah dapat ditebak, tergantung dari level pemahaman perterjemahnya, akan terjadi degradasi makna, bahkan, bisa jadi akan bias kalau ada sisipan opini dari penterjemahnya.
Makanya, saya tidak heran ketika membaca terjemahan Al-Quran terkadang justeru bingung sendiri karena keterbatsaan dari penterjemah yang tidak “gaul”. Terkesan sekali mereka terjebak kepada terjemahan word-by-word, sehingga ketika semua kata terangkum menjadi satu kalimat, kita baca sepuluh kali masih belum ketemu inti dari apa yang dituliskannya. Mumet lagi.
Akhirul kalam,
Alloh with His mercy has brought us up here at this level. Will we throw it away what we got now or simply grab the next level as His will?
As Nick Vujicic always said, it won’t matter how you start, what matter is “how are you going to finish it?” Are you going to finish it strong?
Wallohualam bisowab
Prahoro Nurtjahyo, Sep 30, 2011
No comments:
Post a Comment