Kalau saja mulainya Ramadan dan Lebaran dijadikan tolok ukur kebersamaan umat, maka rasanya dari tahun ke tahun, kita ini lebih banyak ketidakbersamaannya ketimbang kebersamaannya. Lha piye? wong setiap tahun mesti eker-ekeran (baca: perselisihan) dalam menentukan kapan mulainya berpuasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun eker-ekeran itu terjadi lagi. Dan saya tidak kaget, sudah well prepared, karena sudah hafal dengan ritme perbedaan seperti ini.
Bahkan kalau ditilik lebih jauh, ini adalah babak awal dari episode eker-ekeran. Sampeyan jangan heran kalau di akhir bulan nanti akan muncul eker-ekeran babak kedua dalam menentukan kapan hari rayanya. Iya to?
Untuk urusan khilafiyah seperti ini, dari awal saya sudah declare kepada anak-anak dan istri saya untuk masuk dalam barisan makmum saja. Makanya, bersyukurlah sampeyan yang sudah tahu hukum penyebab adanya perbedaan penentuan hari itu. Hidup ini terasa lebih indah dengan nuansa toleransi di sekitar saudara-saudara kita yang berpegang teguh pada prinsip. Nah repotnya khan masyarakat kita ini tidak semuanya berisi makmum yang paham adanya perbedaan ini. Lha mumet sekarang menjelaskan konsep ini kepada anak-anak kita :-).
Namun demikian, memang hebat umat ini. Belum pernah saya mendengar karena eker-ekeran penentuan hari pertama puasa, kemudian ada sekelompok umat yang boikot, mutung, njegot, nggondok, dan tidak menjalankan puasa Ramadan sama sekali sebagai aksi protes kepada para ulama/umaro yang mengakibatkan perbedaan tanggal dimulainya puasa. Iya khan?
Karena hampir setiap tahun terjadi perbedaan hari pertama Ramadan/Lebaran, kayaknya umat sudah tidak lagi ambil peduli, mau puasanya mulai hari Selasa... ya ok atau pilih hari Rabu… ya monggo. Ke-khawatir-an akan terjadinya perpecahan umat terlalu mengada-ada kalau biang permasalahannya hanya sebatas penentuan mulainya puasa atau lebaran. Umat ini sudah jauh lebih dewasa daripada para pengambil keputusan di tingkat pusat sana . Ini mah urusan sepele :-).
Jangan-jangan karena sudah kebablasan, umat ini menjadi adjustable dan toleran untuk maneuver dalam hal yang bersifat ibadah vertical. Sementara kalau sudah Hablul Minannas (ibadah horizontal) mesti gontok-gontokan, berkelahi, perang atau yang sejenisnya. Apakah ini disebabkan karena ketidaktahuannya atau karena manut sabdo pandito ratu? Manut apa kata pak Kyai-nya saja? Wallohualam.
Ketika urusan ibadah puasa dibulan suci ini dibenturkan dengan tatanan nilai sosio-politik, inilah ladang garap kita untuk mengingatkan diri sendiri dan saudara kita yang lain, jangan sampai bulan Ramadan ini menjadi komoditi politik bagi sebagian orang. Hanya karena keinginan terpilih pada putaran politik tahun depan, pembagian sembako, santunan anak yatim, berbuka bersama dengan fakir miskin, menjadi aksi sosial yang ngetrend. Wallohualam.
Juga, jangan sampai bulan puasa menjadi komoditi semu dan lahan empuk bagi para panitia pengumpul dana berbekal dengan statement, “Mengeluarkan zakat di bulan puasa, akan berlipat pahalanya”. Lha memangnya hidup manusia ini hanya di bulan Ramadan saja? Aji mumpung bukan nilai yang diharapkan muncul setelah bulan suci ini berlalu. Wallohualam.
Saya masuk ke dalam barisan makmum yang percaya bahwa semua jenis pekerjaan, sangat tergantung dari niat awalnya. Entahlah… kalau sudah berurusan dengan niat, maka urusannya adalah dengan hati. Kalau urusannya dengan hati, maka ini masuk dalam ranahnya jalan tol langsung antara si individu dan Khalik-nya. Niat adalah dimensi kesengajaan dimana hanya si Individu dan Sang Khalik sajalah yang tahu apa sebenarnya isi hati ini.
Rabu Besok, saya niatkan memulai puasa Ramadan tahun ini Lillahi Ta’ala. Sejujurnya, saya tidak dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan dan dukungan dari sampeyan semua. Sebelum niat ini saya haturkan kehadapan Illahi, mohon maaf jika ada yang tidak perkenan dari tutur kata dan tulisan pena selama ini. Dengan berbekal pintu maaf sampeyan yang terbuka, Insha Alloh kita semua dapat melakukannya dengan Ikhlas dan semoga Alloh ridlo karenanya. Amin.
Khususon, melalui media blog ini, saya sengaja mengajak sampeyan untuk bersama menata niat yang pas. There is no guarantee that we will see Ramadan next year, then we do not have many options left but to do our best this year. Bismillahirrohmaanirrohiim, Nawaitu sauma ghadin an adai fardhi shahri ramadana hazihis sanati fardha lillahi taala. (Prahoro Nurtjahyo, Selasa, July 9, 2013)
No comments:
Post a Comment