Thursday, June 13, 2013

Melawan Arus

Masyarakat menuntut sesuatu yang balance atau seimbang alias serasi dalam kehidupan kita. Iya apa nggak? Jadi, ketika masyarakat melihat sesuatu yang tidak balance, maka akan muncul “distorsi” nilai yang berujung pada rasan-rasan secara kolektif atau “menggunjing secara berjamaah”. Edan khan? Dimana semua itu muncul hanya karena ada yang njomplang ketika syarat keserasian itu tidak terpenuhi. 

Biar gampang, begini illustrasinya.

Dalam bermasyarakat, seorang perempuan yang cantik, dikatakan mempunyai kehidupan yang balance jika mempunyai suami yang ganteng. Itu baru namanya balance. Iya to? Seorang yang milyader, kalau menikah harusnya dengan yang trilyuner. Itu baru namanya balance.  Demikian juga sebaliknya, kalau mukanya sudah reot jelek ngentutan, ya…cocoknya berpasangan dengan mereka-mereka yang jorok. Hmm :-).
    
Itulah hukum kesetimbangan dalam nalar manusia dan, believe it or not, berlaku dalam masyarakat kita. Hal yang serupa juga disodorkan melalui tontonan di movie, tayangan sinetron, ketoprak atau ludruk. Peran Arjuna, nggak mungkin diperankan oleh seseorang yang jelek rupanya. Peran mbok emban dalam edisi ketoprak selalu diperankan oleh mereka yang oversize ukuran body- nya. Iya khan? Cara berpikir kita masih sebatas fisik penampilan saja.


Nah sialnya, apa yang ada ditayangkan di movie dan TV itu nggak selamanya mewakili kondisi sebenarnya yang ada di masyarakat. Seringkali kita melihat pasangan keluarga individu yang tidak mengikuti hukum balancing tadi.

Ada pasangan keluarga dimana penampilan si istri yang cuantik pol plus bahenol, ee  lha kok suaminya uelek njlekethek pol dan burek seperti kaca yang nggak pernah di-lap-i.  Lha mewek…lak an.

Ada juga yang istrinya hitam manis, tinggi semampai, enak dipandang, ndelalah suaminya mblenduk wetenge kayak Patih Logender. :-)

Secara keseluruhan, sampeyan tentu sudah bisa membayangkan apa yang terjadi jika ketidakseimbangan ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita? Yup, you are 100% right, yang muncul adalah sebuah ketidakadilan, dimana rasan-rasan masal segera menyebar seluruh antero dunia melalui Facebook, Tweeter, Instagram, dan lain-lain. J Lha apes tenan khan!

Dalam menggunjing itu, ada yang langsung nyerocos berkata, “Kok bisa si buruk rupa itu punya istri yang cuantik sekali”.

Yang lainnya kemudian menimpali, “Kena guna-guna kali? Ajian pelet-nya ampuh tenan”

Belum sempat bernafas untuk menjawab, sudah ada yang lain memberikan komentar, “Dukun mana yang dipakai-nya kok bisa dapetin istri secantik itu? Mau dong!”

Jadi dalam hukum masyarakat kita ini, “tidak boleh” seorang yang jelek mempunyai istri yang cantik. Khan aneh? Adalah pamali bagi seorang yang nilai akedemiknya rendah kemudian menjadi pebisnis yang handal. Haram hukumnya jika ada seorang yang ber-tatto sekujur tubuhnya, kemudian mendatangi masjid untuk sembayang menghadap Tuhannya.

Lha piye sekarang? Itulah kita, itu wajah masyarakat kita. Sekali lagi, cara pandang kita masih sebatas fisik penampilan saja.

Sering kita terbuai dengan suguhan tontonan luar pagar dimana belum tentu itu cocok untuk kehidupan kita yang sebenarnya.

Nilai masyarakat kita dibentuk oleh tingkat kemajemukan individu yang berada didalamnya. Tatanan nilai masyarakat yang terbentuk bukan berasal dari satu gelombang masa saja, melainkan rentetan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penggerogotan nilai itu datang secara perlahan, dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Itulah konsep kelelahan (Fatigue Concept) dalam kehidupan masyarakat yang menerima “pembenaran” berdasarkan ritme yang sudah berjalan selama ini karena otak manusia sudah dikondisikan “capek” untuk berpikir mana yang benar dan mana yang salah.

Mempertahankan sebuah nilai yang kemudian berupaya untuk mewariskan kepada generasi berikutnya adalah kewajiban setiap orang tua kepada anak-anaknya. Kalau hanya berdiam diri untuk mengikuti apa kata majority, manut wae sendiko dawuh, maka hanya faktor waktulah yang nanti akan menentukan kapan pertahanan nilai kita ini akan ambrol. Melawan arus artinya sudah siap untuk dikucilkan oleh masyarakat. Well, I don’t care.  Do you? Wallohuallam (Prahoro Nurtjahyo, June 13, 2013)

No comments: