Monday, June 10, 2013

Pihak Ketiga

Bahwa saya jatuh hati kepada gadis ini bukan karena factor fisik, itu tidak seluruhnya benar. Ya… saya akui bahwa saya jatuh hati pertama kali karena kecantikan fisik gadis ini. Meskipun fisik yang dulu ramping itu, sekarang berubah menjadi semlohay alias mekar ke sebelah kiri dan kanan dari pinggang, perut, dan lekukan leher, itu menjadi urusan belakangan. Iya toKlemben-klemben Roti-Roti… Mbiyen-mbiyen sakiki-sakiki…. :-).  Yang dulu ya dulu, yang sekarang, you just face it and swallow it  :-).

Sembilan belas tahun hidup bersama, bukan waktu yang pendek untuk ukuran membangun bahtera sebuah keluarga. Coba sampeyan bayangkan, berangkat dari dua keluarga yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda, tingkat ekonomi yang berbeda, cara berpikir yang berbeda, kemudian disatukan dalam satu rumah untuk hidup bersama. Tentu sampeyan sudah bisa menebak, suasana honeymoon hanya berlaku selama satu bulan pertama semenjak usia pernikahan. Selebihnya adalah masa terjadinya padhu, gontok-gontokan, atau istilah yang lebih lembut gothak-gathik-gathuk. :-)

Pengalaman menunjukan, satu hal yang membuat kemelut keluarga menjadi lebih kisruh adalah memperpanjang urusan yang tidak perlu. Kebanyakan dari kita gagal dalam hal meng-eksekusi keputusan untuk move on. Kalau memang ada masalah komunikasi yang nggak jalan semestinya, maka saran saya adalah jangan ditunda-tunda untuk segera diselesaikan. Kenapa? kalau nanti “bisul” itu meletus, perang dunia ketiga adalah hal yang wajar akan terjadi dalam rumah tangga kita.

Perang batin adalah level khusus yang harus diantisipasi oleh semua pasangan suami-istri. Inilah biang kerok keruntuhan keluarga. Apalagi kalau sudah muncul yang namanya pihak ketiga. Wow edan tenan. Dan sering kita salah persepsi dengan istilah pihak ketiga ini. Bagi saya, pihak ketiga tidak selalu berkaitan dengan yang namanya WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain). Iya to? Tanpa disadari ternyata banyak “pihak-ketiga pihak-ketiga” yang hadir dalam perwujudan yang lain. Campur tangan orang-tua sendiri, mertua, saudara ipar, kakak, adik, terkadang justeru menjadikan suasana ketegangan keluarga menjadi lebih runyam. Iya to? Gombal mukiyo tenan ….lek wis wong liyane melu campur urusan keluarga.


Urusan yang seharusnya simple dan bisa diselesaikan dalam hitungan detik, menjadi ruwet dan akhirnya berujung di meja pengadilan agama karena campur tangan pihak ketiga ini. Lha tambah bubrah to keluarga iki? Diamput tenan.

Saya lamar anak gadis ini ketika usianya masih kinyis-kinyis. Waktu itu pertimbangan saya hanya ada dua, pertama, Ibu saya sudah terlebih dulu “jatuh cinta” kepadanya, dan kedua, saya beranggapan akan banyak mudlorot-nya ketimbang manfaat-nya kalau diperlambat prosesnya. Apalagi karena awak ini termasuk dalam barisan makmum yang mempunyai “tegangan tinggi”. Makanya kalau hanya karena alasan kemampanan factor ekonomi, kemudian harus ditunda proses pernikahan-nya, then suck it.  As long as I can legally hold her hand, then that is sufficient for me.  For that, I did not need to wait until I had a fancy house or a luxury car to marry her. Was it absurd decision?

Kemarin, sembilan belas tahun yang lalu, saya nikahi gadis ini tanpa ada umbul-umbul di depan rumahnya. Tanpa ada janur melengkung di ujung gapura gang kampungnya. Tanpa ada suara khas gending lagu Jawa “Kebo Giro” seperti layaknya acara temantenan. Tanpa ada acara sungkeman dengan pakaian adat jawa lengkap beserta blangkon dan sanggul konde. 

Sembilan belas tahun yang lalu, hari Kamis wage, kami lewati acara ijab-qobul dengan sangat super sederhana tanpa ada acara walimahan. Tiga hari setelah acara ritual itu, hari Sabtu, saya bawa si anak gadis ini  pergi jauh. Jauh dari orang tua kami, jauh dari adik dan kakak kami, jauh dari sanak-keluarga kami. Yes, we were practically alone by choice. TohGusti Alloh tidak tidur. Bersyukur kami bertemu dengan sampeyan-sampeyan semua, yang sudah menjadi orang tua kami, saudara-saudara kami, dan kakak-adik kami.

Sembilan belas tahun bukan waktu yang pendek. Usia terus bertambah, seiring dengan berjalannya waktu. Saya sependapat bahwa seharusnya bertambahnya usia membuat kita menjadi lebih arif dan bijaksana dalam bersikap. Kenyataannya toh tidak selalu demikian. Banyak dari kita yang bertambah tua usianya… malahan aneh-aneh saja tingkah lakunya dan terkadang kembali berperilaku seperti anak kecil lagi. At last, Dear Honey, thank you for your patient to pampers “this little boy” for almost the last two decades. Without you, we are not at where we are right now. Well, let's enjoy our live and happy 19th Year Anniversary. Semoga Alloh ridlo karena-nya. Aamiin  (Prahoro Nurtjahyo, June 10, 2013)

6 comments:

Unknown said...

Semoga langgeng sampai Maut memisahkan dan dipersatukan lagi di JannahNya ya mas.... :)

Aamiin 3x

-Haga & Nita-

Prahoro Nurtjahyo said...

Khresna & Nita,

Aamiiin... semoga Alloh ridlo karenanya.


Prahoro & Linna

papa_abi said...

Selamet yo mas'e..
Suwun wis dadi 'role-model' sing apik..

Prahoro Nurtjahyo said...

Suwun mas Remy & mbak Yusi.

Your continue support means a lot for us.

We are in Houston miss Abi and Lea... :-( Make a decision to come back?


Prahoro & Linna

Rosdiana Setyo Lasmowati said...

Date: Mon, 10 Jun 2013 18:13:56 -0700

Aku suka gayamu menulis. Seperti baca buku novel pengarang terkenal. tidakkah terbersit olehmu utk menjd penulis? aku mengagumi gaya bahasamu di semua edisi celometan. terkdg sampai membuat sembab mataku. walo kt tdk akrab...dulu...tp lwt tulisan2mu aku jd paham siapa 'prahoro' yg 25 thn lalu pernah jd tmnku. Selamat atas kesuksesanmu jd ayah yg baik bg anak2mu, jd suami, yg sayang sm istrimu jd anak yg berbakti bg ortumu dan jd tmn & sahabat bg km di sini. moga Allah selalu membimbingmu dimanapun kau berada. aamin

Friend said...

Friend - Jakarta

Btw, saya suka tulisan2 Prahoro, menggugah hati.. terus menulis ya.. saya akan terus membacanya..