Thursday, June 20, 2013

Tiga Hari

Pagi ini, saya baru menyadari bahwa tiga (3) adalah salah satu angka yang keramat.  Tiga termasuk bagian dalam deretan angka ganjil yang kerap menjadi bagian ritual keseharian kita. Coba sampeyan perhatikan, 3 kali kita baca doa yang sama ketika ruku atau sujud, 3 kali mengusap tempat yang sama saat ber-wudlu, tiga kali talaq baru tok cer nggak boleh disentuh lagi, perlu tiga warna dasar untuk membuat warna yang lain, perlu tiga kaki untuk dapat berdiri stabil, dan masih banyak tiga yang lain.

Jadi memang hebat yang namanya angka tiga ini. Makanya, kalau sampeyan berencana mempunyai anak, bersiaplah untuk mempunyai tiga anak. Kalau sekarang sudah terlanjur dua anak saja dan “si pabrik-nya sudah tutup”, jangan kuatir… bersiaplah untuk anak yang ketiga dengan memilih anak yatim sebagai anak asuh sampeyan. Jadi syarat tiga anak masih terpenuhi. Gampang to ?

Demikian juga dengan membangun rumah. Mulai dari awal, sampeyan persiapkan 3 rumah sekaligus, jangan tanggung-tanggung: rumah di dunia ini, rumah di alam kubur nanti dan rumah masa depan di akherat nanti. Jaminan dah untuk Fidunya khasanah dan juga Akhiroti Khasanah. Bukankah itu yang hakiki sebenarnya yang kita cari? Hidup senang di dunia, mati nya nanti khusnul khotimah, dan pada hari pembalasan masuk ke Jannah.  Peh… Top markotop Jos Gandos…Iya to?

Nah bagaimanakah dengan mempunyai istri? Haruskah tiga istri? Kalau itu, sampeyan tanyakan kepada istri sampeyan sendiri, jangan tanyakan ke  saya. Tugas saya hanya memberikan introduction dan tidak dalam kapasitas meng-kompor-i.  Selebihnya adalah terserah pada sampeyan-sampeyan semua untuk menafsirkannya J Iya to?

Marah dan kecewa adalah hubungan sebab akibat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Marahnya seorang istri adalah suatu keharusan ketika kecewa melihat suaminya tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang suami, dan begitu pula sebaliknya, suami "diharuskan" untuk marah ketika si istri sudah mulai mlenceng dari fungsi dan aturannya. Marahnya orang tua adalah bentuk dari kewajiban yang harus di-expose ketika kecewa melihat kelakuan anak-anaknya yang sudah menyimpang dari tatanan yang sudah digariskan.

Marah adalah konsekuensi logis akibat kekecewaan. Sementara kecewa adalah buah dari pencapaian yang tidak sesuai dari pengharapan. Kalau sampeyan tidak pernah marah, maka bersyukurlah sampeyan ini karena Alloh telah menjadikan sampeyan mempunyai kesabaran yang tinggi. Namun demikian, sampeyan perlu check juga ke dokter syaraf, untuk memastikan bahwa tidak ada syaraf yang konslet dalam jaringan neurolog sampeyan.

Bagi saya, marah adalah karunia yang diberikan oleh Gusti Alloh. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk marah. Hanya saja pesan saya, jangan sampai kebablasan. Marah harus pada tempatnya. Kecewa-pun harus melihat substansinya. "Kapan harus marah, kapan harus kecewa" adalah tolok ukur tingkat kematangan sampeyan dan saya. Jangan sampai karena soal sepele, sampeyan marah besar dan dibawa sampai tujuh turunan. Dan juga sebaliknya, untuk urusan yang sangat prinsipal, sampeyan tenang-tenang saja bah. Khan nggak pas to?

Sik to… Jadi ini apa hubungannya antara marah dengan angka tiga? Ceritanya begini.

Saya mengambil advantage dari angka ini karena Gusti Alloh memberikan ijin untuk marah selama 3 hari. Iya to? Paling tidak, apa yang saya lakukan masih dalam kerangka legal dan Justifiable.  Maka hari ini, saya tidak boleh marah lagi karena tiga hari “marah yang legal” itu sudah berlalu.  Tiga hari in sequence, rasa kecewa saya berada pada hirarki tertinggi yang pernah saya alami, karenanya kemarahan itu saya rapel. Jadi kalau sampeyan sempat bersinggungan dengan saya tiga hari yang lalu, percayalah sampeyan bukan penyebab kemarahan itu, tetapi kebetulan saja sampeyan kena bagian apes-nya L.

Paling tidak ada dua alasan yang mengharuskan saya untuk mengakhiri rasa kecewa ini,

Pertama, jangan-jangan saya sendiri sumber dari kemarahan dan kekecewaan ini. Sudah tiga malam saya merenung, dan akhirnya sepakat dengan hati saya sendiri bahwa tidak semestinya blame itu ada pada orang lain sepenuhnya. Ada dong self contribution. Iya nggak?

Kedua. Bahwa ekspressi ini muncul sebagai ekses dari kekecewaan, iya saya setuju. So what? It happens already. Ya masak mau marah terusan. Can we just get over it and move on? Bottomline, perlu visualisasi untuk mengekspresikan sebuah komunikasi. Lesson Learnt? Jangan-jangan komunikasi yang selama ini terjalin tidak pada frequensi yang sama. Jadi perlu ditata ulang jaringan kabel komunikasinya, kalau perlu ganti provider. Sipp... Roger ganti. 10-4!

Thing happens beyond our control.  Sometimes it appears not just as expected. It’s up to us how to handle it.  There are two options: You can continue to drag it down till you're fully satisfied, or you just simply to drop it and move on. Well, today is the third day, and I choose to move on. Wallohualam (Prahoro Nurtjahyo, June 20, 2013)

1 comment:

Sri Gunardi said...

Ruarrrr biasaaa....