Son, starting today, you are lawfully indorsed as an adult. Like it or not, this is point of no return. Consequently, you hold your own responsibility. Under this circumstance, be very careful with any act you perform because you will be asked for the accountability. I cannot be at your place to any further extent.
I deliberately did not give you a present for this year birthday. Well, I am sorry for that. Indeed, starting from today onward, you are not entitled anymore for those kinds of senseless gifts. Believe me, those are fakes.
As a substitute, without being cheap, I give you this Personal Notes as everlasting birthday present. At some point, if I miss your birthday in the future, you can still read this story again and again :-). Besides, you need to learn more literature in Bahasa Indonesia :-). As a hint, the full messages are within the words, between the lines. You will not precisely find the genuine meaning of the story if you just “plainly” read it. Wish you find the true message behind the story. Happy Birthday My Son! (Prahoro Nurtjahyo, May 5, 2013)
Bandung di pagi hari masih terasa dingin. Kota kembang ini memang mempunyai aura yang berbeda dibandingkan dengan kota-kota yang lain di Indonesia. Meskipun semakin banyak tangan nakal yang ”menggunduli” pohon sepanjang jalan tol Pasteur atau simpang Dago, toh.. kota ini masih juga mampu mengeluarkan magnet yang sangat kuat untuk menarik banyak orang datang.
Kalaulah datang tidak untuk sekolah, obyek “wisata” di pasar baru atau daerah OTISTA adalah tempat mangkal rutin baik bagi para turis lokal maupun dari manca negara ASEAN khususnya pada hari-hari libur atau akhir pekan. Apalagi, situasi ini didukung dengan adanya route penerbangan langsung dari Bandung ke KL, Bangkok atau Singapura, tanpa harus transit ke ibukota Jakarta. Hebat khan... pejabat Pemda Bandung ini?
Kami tinggal di kota ini lebih dari dua tahun, tepatnya di daerah pusaran jalan Pasir Kaliki dan jalan Padjadjaran. Di salah satu ujung lorong gang itu, kami mengontrak rumah selama satu tahun terakhir. Rumah kecil mungil dengan atap genting bocor (akibat ulah kucing berkelahi :-) ). Dimalam hari, kami bisa melihat dengan jelas jutaan bintang dari dalam kamar. Disaat musim hujan, suara denting air hujan yang jatuh dari atap genting selalu membuat kami siaga untuk menampung tetesan air ke dalam bak cucian atau panci kosong. Edun euy.
Tahun itu, bulan memasuki bulan ke lima. Selama sebulan lebih sejak pertengahan bulan Maret, saya dan istri dipisahkan oleh jarak. Saya berada di Bandung, sementara istri saya di kota kecil, Kediri, Jawa Timur. Maklum, waktu itu, istri saya sedang hamil tua. Kami sedang menunggu kehadiran buah hati kami yang pertama. Option ini sebenarnya hasil kompromi timbang-timbang dari sekian lama berdiskusi internal dengan istri. Karena sebenarnya kalau mengikuti ego, kami berdua lebih cenderung untuk memilih prosesi persalinan itu di Bandung. At the end, kompromi ini adalah jalan terbaik yang Alloh berikan kepada kami.
Hari itu bertepatan dengan hari Jumat wage. Dinginnya pagi di Bandung bukan halangan untuk tidak bangun dari tidur. Air dingin yang sudah di tandon semalaman itu saya guyurkan di atas kepala. Wuuu... Tiris pisan Euy. Inilah salah satu kebiasan saya sehari-hari. Dengan cara ini membuat saya selalu stay awake dan harus bergerak cepat, karena dua alasan, pertama (i) airnya sangat dingin dan yang kedua (ii) jatah air yang tidak cukup sementara masih ada antrian yang akan memakai kamar mandi. (Sebenarnya, kalau kelamaan mandinya, bisa bisa kena sakit rematik karena saking dinginnya :-) )
Segera setelah selesai berpakaian (tanpa harus sarapan pagi, karena memang tidak biasa sarapan), saya keluar dari rumah kontrakan ke gang kecil menuju ke jalan besar. Saya telusuri jalan Padjajaran ke arah barat dengan berjalan kaki. Sebenarnya ada juga angkot yang melintasi route itu, tapi tidak mudah untuk mendapatkan spot yang kosong karena harus bertarung melawan anak-anak sekolah yang juga berangkat pagi atau ibu-ibu yang berangkat ke pasar Ciroyom. Jadi jalan kaki dari rumah kontrakan ke kantor adalah hal yang biasa, sekalian sambil menambah wiridan :-).
Sesampai di ujung tempat pemakaman umum (TPU) Sirna Raga, saya belokkan langkah ke arah kanan. Di sana sudah banyak angkot yang berhenti menurunkan penumpang. Saya masih terus berjalan mengitari pemakaman umum itu. Jalan itu memang berkelok-kelok yang akhirnya berujung di pintu masuk Gate IV. Dan sampailah akhirnya saya di pelataran parkir IPTN. Inilah pusat tekonologi kebanggaan bangsa Indonesia, Industri Pesawat Terbang, tempat dimana saya mengabdi pasca lulus sekolah.
Melalui pos screening SATPAM penjagaan pertama, saya terus berjalan ke arah barat. Hanya mereka yang levelnya sudah Deputi (ke atas) saja yang boleh masuk ke pos screening pertama ini dengan membawa mobil. Selebihnya harus berjalan kaki. Dari sini saya bertemu dengan banyak rombongan pejalan kaki. Sepanjang jalan itu, saya lewati Gedung Pusat Manajemen (GPM) yang mewah dengan mock pesawat N-250 di depan sebelah kanannya. Konon ceritanya (saya sih belum pernah melihatnya sendiri), di gedung itu paling atas terdapat helicopter landing, untuk memudahkan pak Habibie jika berkantor di IPTN.
Di Gedung Pusat Teknologi (GPT) saya belokkan langkah ke kanan. Dari sini saya kena pos screening yang kedua. Setelah lolos dari penjagaan SATPAM ini, saya teruskan langkah menuju lift sebelah utara, saya pencet tombol nomor 5 yang segera mengantar kami ke lantai 5 dimana Pusat R&D perusahaan ini dikelola.
Di cubicle bagian tengah, menghadap ke dinding itulah, saya bekerja sehari-harinya.(bersambung Bagian 2)
No comments:
Post a Comment