Sunday, May 05, 2013

Burung Itu Terbang (Bagian 3)


BAGIAN 3


Family bonding is a must to do. That is not an optional. Life is short, even too short for blinking our eye. Seems like yesterday we played soccer together at the apartment.  Now, you are about to start college. Time flies so fast.

As for bonding, just keep it in mind, in every event, if everyone in the family enjoys it, then you need to keep it that way. On the other hand, if only one of them enjoys it, you need to think again whether this is the right activity to continue.  (Prahoro Nurtjahyo, May 5, 2013)

Alhamdulillah. Ba’da sholat Jumat pukul 13:55, seorang bayi sehat lahir dengan selamat. Demikian juga ibunya. Hampir seharian bertarung untuk keluar dari belitan usus dilehernya, mulai dari Maghrib hari sebelumnya. Sementara, saya masih berada di Bandung ketika berita kelahiran itu saya terima. 

Segera saya ambil ubo rampe-ne yang dua hari sebelumnya sudah saya persiapkan karena memang rencananya ijin cuti berangkat ke Kediri hari Sabtu. Ternyata Alloh mempunyai rencana lain.

Entah karena perasaan saya untuk segera ingin bertemu dengan istri dan jabang bayi yang baru lahir, atau memang jalannya yang thimik-thimik. Kereta Api Mutiara Selatan jurusan Bandung-Surabaya terasa sangat lambat hari itu. Sehingga ketika Kereta Api baru sampai di stasiun Nganjuk, saya sudah tidak tahan lagi. Akhirnya saya putuskan untuk turun dan ganti haluan naik bis tujuan Kediri. Hari Sabtu, kurang lebih jam 8-an pagi, saya sampai di Kediri.

Tanpa harus mandi, saya bergegas langsung menuju ke rumah ibu Bidan Mustianah. Di depan pintu kamar nginap bersalin, saya melihat istri saya masih tergolek lemas di atas dipan berkasur kapuk. Dia tersenyum melihat kehadiran saya, sambil berkata,

“Barusan sampai?”

Saya jawab pertanyaan itu dengan senyum juga. Tanpa suara saya dekati dia. Kemudian saya duduk dipinggiran kasur berukuran twin itu. Saya cium kening istri saya yang kelihatan sangat capek, dan saya dapati si Bayi laki-laki mungil dengan berat 2.7 kg yang diam anteng tidur disampingnya karena habis nenen susu ibunya.

Saya gendong bayi kecil mungil itu dengan rada kikuk. Maklum saya masih takut memegang tulang sendi-sendi yang kelihatan rapuh itu. Saya tidak peduli apakah sudah di-adzan-kan sebelumnya. Saya lakukan hal yang semestinya dilakukan ketika seorang bayi laki-laki lahir dimuka bumi ini.  Dan lantunan Adzan pun saya bisikan ke telinganya sebelah kanan.

Setelah selesai, saya lihat si Bayi masih dengan nyenyak-nya tidur tanpa terganggu oleh suara azdan tadi. Sepertinya dia juga lelah dengan perjalanan seharian melawan usus di leher.

Dengan takzim saya mendengar keluh kesah dari Istri yang bercerita tentang proses kelahiran si jabang bayi. Perjalanan panjang dari sakit di perut, mules, dzikir, terbelit usus sampai dengan adanya lindu (gempa) adalah bagian yang saling berganti dalam cerita proses kelahiran anak kami. Tanpa harus menyela ceritanya, saya amati betapa tegar dan perkasanya istri saya ini. Kali ini, saya tidak banyak berkomentar karena perasaan bersalah segera mendominasi otak saya. Bagaimana tidak? Ketika Istri saya harus bersabung nyawa, kehadiran saya malahan jauh dari pelukannya.

Ketika istri saya mengakhiri ceritanya karena memang sudah sangat lelah, saya kecup lagi keningnya, sambil berucap di telinganya,

“Kamu sudah menunaikan amanah ini dengan baik. Lengkap sudah perjalanan mu sebagai seorang wanita dengan proses kelahiran anak kita yang pertama. Sekarang, kamu sudah menjadi seorang Ibu. Maka, jadilah Ibu yang baik.”

Ketika saya hendak berdiri, belum sempat saya melangkah, istri saya segera bertanya, “Siapa nama anak kita, Mas?”

Saya menjawab, “Istirahat dulu, nanti kita diskusikan lagi ba’da Sholat Ashar”

Saya paham sekali, cepat atau lambat, saya harus mempunyai jawaban untuk nama jabang bayi ini. Pertanyaan yang sama sudah membayangi hati saya mulai perjalanan angkot dari rumah kontrakan ke Statiun KA Bandung. Siapa nama anak ini? Tidak ketemu-ketemu juga. Saya berharap selama berjalanan dari Bandung ke Kediri, saya dapat menemukan beberapa kandidat nama yang cocok. Ternyata, sampai di depan bayi yang baru lahir itupun, saya masih belum siap dengan nama itu. Walapun itu hanya nama untuk cadangan saja, saya tak mampu untuk memberikannya.


Bismillah. Sehabis sholat Ashar, saya ambil kursi di ujung kamar bersalin itu.  Saya putar kursi itu sehingga dapat duduk berhadapan dengan istri saya yang masih tergolek di atas dipan. Setelah menarik nafas agak panjang, saya mulai berkata,

“Ini ceritanya agak panjang, jadi bersabarlah untuk mendengarkannya.”

Istri saya hanya mesem saja. Dia sudah mahfum, beginilah kebiasan saya kalau membawa berita. Panjang jalan ceritanya, padahal intinya hanya satu atau dua kata di akhir cerita. :-)

Kemudian saya teruskan,

“Ada sebuah cerita yang mulai dari saya kecil sampai sekarang masih melekat di dalam hati ini yang paling dalam. Bahkan, terkadang dalam mimpi-pun, saya merasa menjadi bagian dalam cerita itu. Begini kisahnya:

Ada seorang Raja yang bijaksana yang dicintai rakyatnya. Si Raja ini ditinggal mati oleh permaisuri-nya. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang ketika itu masih belia usianya.

Semenjak men-duda, sang Raja ini menjadi sering berburu ke hutan untuk melepas kesediahannya. Sampai akhirnya, ketika sedang berburu, si Raja bertemu dengan seorang perempuan cantik yang memikat hatinya. Pandangan mata mereka telah menggetarkan hati keduanya. Karena panah asmara semakin membara, akhirnya dilamarlah perempuan itu oleh si Raja ini.

“Mohon ampun Raja nan bijaksana, hamba tidak dapat menerima pinangan Paduka yang agung ini”, jawab si perempuan cantik ini ketika mendengar lamaran itu.

“Mangapa?” tanya Raja sekali lagi.

“Karena persyaratan yang hamba ajukan akan sangat berat untuk paduka Raja”, sela perempuan itu.

“Apa persyaratan itu?” tanya Raja

Perempuan cantik itu menjawab, “Hamba mengajukan syarat bahwa anak dari keturunan hambalah yang kelak menjadi Raja penerus tahta kerajaan Paduka.”

Sang Raja masghul mendengar jawaban itu. Persyaratan yang sangat berat karena keberadaan putra satu-satunya dari permaisuri yang pertama adalah putra mahkota raja.

Akhirnya si Raja berkata, “Baiklah, kalau memang itu persyaratannya, saya akan penuhi.”

“Bagaimana dengan putra paduka sekarang ini? Apakah tidak menuntut haknya sebagai putra mahkota”, kembali perempuan itu meyakinkan.

”Saya akan katakan kepada dia, bahwa anak dari keturunan engkaulah yang akan menjadi putra mahkota”, Sang Raja meyakinkan jawabannya.

Sambil berurai air mata, perempuan cantik itu berkata,

”Maafkan hamba paduka Raja, sungguh merupakan kebahagiaan yang berlebih bagi hamba untuk menerima lamaran ini, namun demikian hamba takut akan terjadi bencana perebutan kekuasan, kelak ketika Paduka Raja dan hamba telah tiada.

Sudah pasti mereka akan berebut kekuasan karena pasti ada yang merasa lebih berhak sebagai keturunan permaisuri pertama”

Dan akhirnya sang Raja pun terdiam. Sudah terbayang pertengkaran antar keluarga yang justeru dijaganya selama ini. Segera terbayang pemandangan saling bunuh yang mengerikan sekaligus menakutkan untuk kelanggengan kerajaan ini karena perebutan tahta istana ini.

Raja kembali ke istana kerajaan dengan pikiran yang berkecamuk. Begitu banyak dilema yang muncul yang tidak mudah untuk diselesaikannya.

Sang Raja pun menjadi sakit. Hari demi hari tidak ada tanda tanda untuk membaik kondisinya, malahan sebaliknya. Para tabib didatangkan untuk memberikan pengobatan tetapi selalu kembali dengan kegagalan.

Si Anak laki-laki, putra mahkota buah hati dari permaisuri yang pertama, sangat prihatin melihat kondisi ayahandanya. Didekat pembaringan Ayahanda Raja, dengan penuh kasih sayang diusap wajah sayu ayahnya. Dipegang tangannya. Diambilkan minuman hangat untuk sekedar membasahi bibir ayahnya yang kering.

Si Anak berkata, ”Ayahanda... sakit apa sebenarnya ayah ini? Sudah puluhan tabib datang dari seluruh penjuru negeri, tetapi tidak ada satupun yang tahu apa sebenarnya penyakit ayahanda ini”

”Anak-ku, berupaya apapun, inilah buah dari apa yang ayah lakukan selama ini. Biarlah beban ini ayah sendiri yang menanggung, ” jawab sang Raja.

Dengan sesenggukan menahan tangis, si anak laki-laki ini terus memegang tangan ayahnya. Dilihat betapa berat beban batin ayahnya ini.

”Apa yang bisa hamba lakukan ayahanda?”, desak putra mahkota ini.

Sang Raja menjawab, ”Anak-ku, sudah berlebih perhatianmu untuk ayahmu ini. Sudah cukup apa yang sudah kamu berikan selama ini. ”

Si Anak-pun berurai air matanya. Tidak sampai hati melukai hati anak semata wayangnya ini, sang Raja pun bercerita kejadian apa yang dialaminya, sampai dengan perjumpaan dengan perempuan cantik di hutan dengan persyaratannya yang diajukannya.

Dengan seksama, si anak laki-laki ini mengikuti kisah kelu yang diceritakan oleh Ayahandanya.

”Ayahanda, kalaulah ini jalan terbaik untuk kesembuhan ayah, hamba rela untuk melepaskan tahta kerajaan ini untuk adik-adik hamba. Kesehatan Ayahanda jauh lebih berharga bagi hamba daripada sejengkal kekuasaan yang hanya fana ini. ”

Sayang ayah-pun menyela, ”Bagaimana dengan anak-anak keturunan-mu kelak ? Bagaimana kalau mereka nanti menuntut hak yang sebenarnya adalah hak-mu sebagai pewaris sah tahta ini ? ”

Dengan berdiri tegap, si anak menengadahkan kedua tangannya sambil berkata, ”Demi langit dan bumi, Hamba bersumpah untuk tidak akan menikah selama hidup hamba”

Demikian cerita itu saya tutup. Penggalan cerita Mahabarata itu, cukup memberikan signal kepada istri saya, tokoh siapa sebenarnya yang saya maksud.

Sekarang dengan kepastian yang tinggi, saya genggam tangan istri saya dengan hangat. Dengan yakin saya katakan, "Nama anak kita adalah …………"  (bersambung Bagian 4)


No comments: