Sunday, May 05, 2013

Burung Itu Terbang (Bagian 2)

BAGIAN 2


It is human nature. Someone will go in and out from your life. The fact is I know from the beginning that the time will come.  I hold him every night and day just to be in no doubt: When the time really comes, I will be ready.  As a matter of fact, I have never been ready for this. I wished I could, but I certainly cannot dominate his life just for the sake of my self-esteem.

He needs to learn and will face his own challenge in this world and how prepare it for the day after.

I am writing the story not only to show how much I love him, but also to let him know how much I really care about him. Wallohi, it does matter for me, but I do not really care whether he will make daily do’a for me after my funeral. To tell the truth, what does really concern me is whether I have provided better preparation for him before I let him out. Cause, out there is the real life. It is jungle out there.

Before he flies far away, I want him to know how grateful I am to have him in my life. I am not asking him more than what he has given to me: Pride. (Prahoro Nurtjahyo, May 5, 2013)




Belum sempat pantat ini menempel di kursi, saya dapati secarik kertas putih di atas meja dengan tulisan semuanya ber-huruf capital, “TELPON KE KEDIRI, ISTRI MASUK RUANG BERSALIN”. Sepertinya Bu Wiwied, sekretaris kantor yang selalu datang paling awal itu, yang me-letak-kan pesan singkat itu di atas meja saya.

Kontan langsung saya lompat balik keluar gedung. Tanpa ba-bi-bu, bahkan saya tidak ingat lagi apakah sudah minta ijin dulu atau belum. Yang ada dibenak saya, bagaimana saya harus segera pulang ke Kediri secepatnya. Untuk kesekian kalinya, Alloh telah menunjukkan Qodlo dan Qodar-NYA, bahwa kemampuan usaha manusia hanya sebatas planning dan execution. Hasil akhirnya adalah milik Alloh semata.

Hari itu sebenarnya memang sudah saya niatkan untuk ijin mengambil cuti pulang kampung. Selain untuk memberikan moral support kepada istri, juga upaya membayar nadzar ketika si orok masih 3 bulan di dalam rahim ibunya. Waktu itu, dengan tangan saya letakkan di atas perut istri saya yang belum membuncit, saya bisikan, “Le… jangan keluar dulu ya, tunggu sampai Ayah berada di dekat ibumu.”

Ternyata angka 9 bulan 10 hari adalah angka sialan untuk keluarga kami.  Angka itu tidak berlaku dan tidak mendasar sama sekali.  Sialnya, saya memakai angka itu untuk melakukan planning ke depannya tanpa ada mitigasinya. Bagaimana bisa si orok sudah minta nongol pada usia 9 bulan di rahim? Lha kemana yang 10 hari itu.  Percepatan hari inilah yang akhirnya membuat saya menjadi kalang kabut.

Dengan perhitungan model apapun, saya akan telat untuk sampai ke Kediri. Kalaupun naik pesawat, saya masih memerlukan perjalanan darat sekitar 4 jam lagi dari Surabaya ke Kediri. Akhirnya saya pun pasrah, saya serahkan kembali bahwa Alloh Maha Berkehendak. Kun Fa Ya Kun.

Melalui interlokal, saya hanya sempat mengikuti perkembangan detik-demi-detik dengan Bapak saya.  Sementara Ibu saya harus menemani istri di ruangan bersalin milik Bidan, ibu Mustianah. Bidan ini memang sangat cekatan untuk urusan melahirkan bayi. Ternyata orok ini mulai dari pagi tidak dapat keluar karena terlilit oleh usus di lehernya. Sehingga proses mengenal dunia luar memerlukan perjuangan yang sangat besar.

Ibu Bidan ini bukan hanya lihay dengan prosesi persalinan saja, tetapi juga dalam hal menenangkan pasiennya.  Entah karena ilmu klenik atau memang benar adanya, beliau sempat berujar kepada ibu saya, “Bu.. berdasarkan pengalaman saya, karena waktunya sudah mendekati Dhuhur, bayi ini tidak akan keluar pada jam-jam sholat Jumat”.

Dengan statement dari Ibu Bidan itu, saya tutup telepon interlokal dari Warnet dekat rumah kontrakan. Saya serahkan semuanya kepada-NYA dan saya segera bergegas ke Masjid kampung di belakang rumah untuk sholat Jumat.

Biasa, yang namanya manusia, akan banyak wiridan –nya kalau sedang kepepet menghadapi masalah. Demikian juga dengan saya waktu itu. Ayar Kursi-pun menghiasai bibir ini yang hampir kering.


Pada akhir doa, saya kirimkan SMS melalui batin seorang Ayah ke orok di dalam rahim istri saya ini, “Le... jika yang terbaik adalah keluar tanda didampingi oleh Ayah-mu, so be it. Ayah sudah ikhlas kalau kamu harus keluar tanpa Ayah disamping ibu-mu. Jangan sampai, karena Nazdar Ayah-mu ini menjadi ganjalan proses kelahiran mu di muka bumi ini”.

(bersambung Bagian 3)

No comments: